writejelin

Adit dan perasaan tak berujung.

Hari itu, sekolah nampak sepi sekali. Hanya ada beberapa siswa yang mengikuti ekskul dan petugas kebersihan sekolah.

Laki-laki dengan peluh membasahi rambutnya serta Jersey yang dikenakannya tengah meneguk minumannya.

Lapangan futsal SMA Neo saat ini sudah sepi, hanya dirinya yang masih betah berdiam diri di sana.

Matanya memperhatikan tiap sudut sekolah yang sudah sepi itu, sesekali ia menyibak rambutnya yang basah akibat keringat.

Tidak ada yang menarik dari suasana sekolahnya saat itu, semua siswa pasti sudah pulang ke rumah mereka masing masing. Namun, pandangannya terhenti tiba-tiba. Matanya memperhatikan seorang perempuan yang melewati lapangan futsal.

Perempuan itu memakai seragam sekolah yang sama dengan milik Adit, parasnya juga sangat menawan. Perempuan itu, yang kini berjalan menuju toilet sekolah, adalah seseorang yang Adit—sang ketua futsal sukai.

“Mau sampai kapan sih diliatin mulu, digebet dong buruan,” tepukan pelan pada pundaknya membuat lamunannya buyar.

Adit menggeleng lalu menundukkan kepalanya, “gak usah.”

“Syania cantik Dit, siapa sih yang gak pengen pacarin dia?” ucap Arya, tangannya merebut botol minum yang Adit genggam lalu meneguknya cepat, “dari kelas 10 lo begini mulu sampai sekarang kita mau lulus.”

Sang empu hanya menghembuskan nafasnya pelan, ia tidak tahu harus berbuat apa. Memang betul rasa sayangnya pada perempuan bernama Syania itu bukan main-main dan sama sekali tidak ia sepelekan.

Namun ia tidak memiliki cukup kemampuan untuk bertindak lebih, ia merasa belum cukup untuk Syania, seperti ada yang kurang dari dirinya.


“Adit, Syania besok nikah..”

Empat kalimat itu berhasil menghantam hatinya.

Setelah bertahun-tahun ia berusaha memantapkan dirinya untuk bersanding dengan pujaan hatinya, namun ternyata semesta tak pernah benar-benar baik pada lelaki ini.

“Dit, lo gapapa kan?”

“Gapapa lah,” “Lagian kan cuma cinta monyet, bukan apa-apa.”

Bohong, ia telah berdusta pada dirinya sendiri. Fakta bahwa Syania menikah dan akan menjadi milik orang lain membuat dadanya sesak sekali.

Sangat menyakitkan, Aditya harus dipaksa mengikhlaskan.

Pemandangan tak terduga.

“Achi nanti di dalem gak boleh nakal ya? temenin bunda kerja aja oke?” ucapnya pada si kecil yang berada pada genggamannya.

Syania memasuki kantor dengan perasaan cemas, ia takut dengan pandangan-pandangan aneh teman-teman kantornya.

“Wah, ini siapa?” cetus salah satu teman kerjanya, “Anak lo syan?”

“Iya hehe,”

Cila, temannya kantornya itu tidak menyahut lagi. Ia sibuk menyapa Achi yang tengah menatap orang di depannya dengan bingung, juga dengan mulutnya yang sibuk menghisap dot kesukaannya.

“Yaudah deh, gue ke atas dulu ya cil,” ucapannya di iyakan oleh Cila.


“Achi cantik duduk sini dulu ya sayang, jangan kemana mana ya,” katanya pada anak semata wayangnya itu.

Syania berdiri bergegas untuk membuat teh hangat untuk bos nya, dilihatnya ruangan Adit yang masih kosong. Biasanya lelaki itu datang lebih siang, jadi tidak heran mengapa ruangan kerjanya masih kosong.

Meskipun begitu, Adit adalah orang yang sangat disiplin. Semua peraturan harus dipatuhi, seperti saat ini, teh hangat harus ada di atas meja kerjanya ketika ia sampai nanti.

“Ya tuhan, ini ruangan udah gue bersihin deh kemaren. Kenapa berantakan lagi kayak kandang sapi,” celotehnya.

Dengan cepat Syania membersihkan ruangan itu, menata semuanya seperti semula.

'Gak heran kenapa itu orang gak laku, bersihin ruangan sendiri aja gak bisa.' batinnya, kesal sekali rasanya.

Selesai dengan pekerjaannya ia memutuskan kembali ke tempat kerjanya, menemui Achi yang pasti sedang menunggunya.

“Achi, mau minum su—” kalimatnya terhenti setelah melihat pemandangan mencengangkan di depannya.

Ia berusaha tak mengeluarkan suara sedikitpun saat ini.

Di sana, bos nya tengah tersenyum, mengelus dan bercanda bersama buah hatinya. Pemandangan ini jarang sekali ia lihat, wajah sumringah Adit, serta senyumnya yang begitu tulus.

“Anak cantik, anak siapa ini?” “Cantik banget ini jepitannya, bunda ya yang beliin?”

Ucapan Adit barusan terdengar jelas, juga suara tawa Achi yang terdengar sangat senang bertemu Adit.

“Permisi pak Adit..”

Adit menolehkan kepalanya pada Syania, terkejut dengan keberadaannya saat ini.

Seketika, wajah yang tadinya tersenyum hilang dalam satu kedipan. Aura kejamnya kembali terlihat, ia berdiri tegak dari duduknya, menatap Syania dengan tatapan dinginnya.

'Kok mukanya berubah? ini orang berkepribadian ganda?

“Teh hangatnya udah kamu buat?” ucapnya dengan nada yang terdengar datar.

“Sudah pak, ada di ruangan pak Adit,”

Adit menganggukkan kepalanya, menatap sekilas Achi yang berada di meja kerjanya.

Ia melangkahkan kakinya, bergegas menuju ruangannya.

“Kerja yang bener,” Adit menepuk pundak Syania dan segera berlalu dari hadapan perempuan itu.

'Sinting, super sinting. Awas aja lo demen sama anak gue.'

Liontin dan Ibu.

“Ibu! aku habis gambar rumah panti, liat deh,” ucap seorang anak laki-laki yang berlari ke arah wanita paruh baya yang tengah terbaring lemah di atas kasur.

“Wah, Arian anak Ibu pintar sekali,” jawabnya, suaranya tak ia biarkan terdengar lemah.

“Makanya Ibu harus cepet sembuh, biar Arian dan Arion makin pintar!”

Mendengar ucapan salah satu anak asuhnya itu sang Ibu hanya tersenyum, tidak ada yang bisa ia berikan saat ini selain isyarat ketenangan.

Wanita itu bernama Dian, sang Ibu panti. Ia adalah pengasuh panti asuhan melati selama beberapa tahun terakhir, menjaga dan merawat anak-anak panti bersama salah satu rekannya.

Dian adalah sosok yang berhasil menjadi Ibu kesayangan bagi anak-anak panti, hadirnya adalah sumber kebahagiaan bagi anak-anak kecil itu. Terutama bagi sepasang anak kecil Arian dan Arion, keduanya sangat mencintai Dian layaknya seperti Ibu kandung mereka sendiri.

Namun sayang, tahun ini Dian menderita sakit yang cukup serius yang mengakibatkan ia tidak bisa beraktivitas dan bermain bersama anak-anak panti seperti biasanya.

Cukup menyedihkan baginya dan seluruh penghuni panti.

“Arion mana? coba panggil kesini,” pintanya pada Arian kecil.

Ia mengangguk dan segera memanggil teman mainnya itu.

“Ibuuuu! Arion datang!”

“Wah anak-anak Ibu kelihatannya bahagia sekali ya hari ini.”

“Iya dong! karena aku sayang Ibu aku harus bahagia setiap saat!” ucap Arion kecil dengan tingkah lucunya.

“Hahaha, sini duduk. Ibu punya hadiah,” bisiknya pada kedua anak laki-laki itu.

Arian dan Arion mendudukkan dirinya di samping sang Ibu, penasaran dengan hadiah yang akan diberikan Ibunya.

“Hadiah apa, ayo kasih tau!” Arian kecil terlihat girang sekali.

“Arian sabar dong!” cetus Arion.

Dian yang melihatnya hanya tersenyum gemas, “Sudah sudah, coba hadap sini.”

Mendengar itu keduanya segera menempatkan tubuhnya tepat di depan Dian, menatapnya dengan mata yang menggemaskan.

Tidak butuh waktu lama Dian langsung mengeluarkan dua liontin biru, dengan cepat ia memakaikan liontin itu pada kedua putranya. menatap keduanya dengan tatapan sayang.

“Ibu kok hadiahnya cuma dua? teman-teman Arion dan Arian kan banyak di sini.”

“Yang ini memang khusus Ibu berikan untuk anak tampan Ibu, Arian dan Arion,” ucapnya sembari mengecup pucuk kepala kedua putranya itu.

“Nak, Arian dan Arion sudah besar, sudah makin pintar, makin cakep juga. Ibu selalu mengajarkan Arian dan Arion jadi manusia yang baik dan berbakti, selalu ingat itu ya? Nanti kalau Arian dan Arion sudah besar, tolong selalu hindari hal-hal yang buruk apalagi berbuat jahat ke orang lain. Jangan ya, nak?”

“Arian dan Arion anak Ibu, tumbuhlah jadi anak yang berperilaku baik, nak. Doa Ibu selalu menyertai kalian berdua.”

Kalimatnya saat itu menjadi akhir dari tugasnya untuk menjaga panti asuhan melati, kondisinya semakin memburuk dan tidak tertolong.

Dian meninggal dunia dengan disaksikan oleh si kecil Arian dan Arion.

Liontin dan Ibu.

“Ibu! aku habis gambar rumah panti, liat deh,” ucap seorang anak laki-laki yang berlari ke arah wanita paruh baya yang tengah terbaring lemah di atas kasur.

“Wah, Arian anak Ibu pintar sekali,” jawabnya, suaranya tak ia biarkan terdengar lemah.

“Makanya Ibu harus cepet sembuh, biar Arian dan Arion makin pintar!”

Mendengar ucapan salah satu anak asuhnya itu sang Ibu hanya tersenyum, tidak ada yang bisa ia berikan saat ini selain isyarat ketenangan.

Wanita itu bernama Dian, sang Ibu panti. Ia adalah pengasuh panti asuhan melati selama beberapa tahun terakhir, menjaga dan merawat anak-anak panti bersama salah satu rekannya.

Dian adalah sosok yang berhasil menjadi Ibu kesayangan bagi anak-anak panti, hadirnya adalah sumber kebahagiaan bagi anak-anak kecil itu. Terutama bagi sepasang anak kecil Arian dan Arion, keduanya sangat mencintai Dian layaknya seperti Ibu kandung mereka sendiri.

Namun sayang, tahun ini Dian menderita sakit yang cukup serius yang mengakibatkan ia tidak bisa beraktivitas dan bermain bersama anak-anak panti seperti biasanya.

Cukup menyedihkan baginya dan seluruh penghuni panti.

“Arion mana? coba panggil kesini,” pintanya pada Arian kecil.

Ia mengangguk dan segera memanggil teman mainnya itu.

“Ibuuuu! Arion datang!”

“Wah anak-anak Ibu kelihatannya bahagia sekali ya hari ini.”

“Iya dong! karena aku sayang Ibu aku harus bahagia setiap saat!” ucap Arion kecil dengan tingkah lucunya.

“Hahaha, sini duduk. Ibu punya hadiah,” bisiknya pada kedua anak laki-laki itu.

Arian dan Arion mendudukkan dirinya di samping sang Ibu, penasaran dengan hadiah yang akan diberikan Ibunya.

“Hadiah apa, ayo kasih tau!” Arian kecil terlihat girang sekali.

“Arian sabar dong!” cetus Arion.

Dian yang melihatnya hanya tersenyum gemas, “Sudah sudah, coba hadap sini.”

Mendengar itu keduanya segera menempatkan tubuhnya tepat di depan Dian, menatapnya dengan mata yang menggemaskan.

Tidak butuh waktu lama Dian langsung mengeluarkan dua liontin biru, dengan cepat ia memakaikan liontin itu pada kedua putranya. menatap keduanya dengan tatapan sayang.

“Ibu kok hadiahnya cuma dua? teman-teman Arion dan Arian kan banyak di sini.”

“Yang ini memang khusus Ibu berikan untuk anak tampan Ibu, Arian dan Arion,” ucapnya sembari mengecup pucuk kepala kedua putranya itu.

“Nak, Arian dan Arion sudah besar, sudah makin pintar, makin cakep juga. Ibu selalu mengajarkan Arian dan Arion jadi manusia yang baik dan berbakti, selalu ingat itu ya? Nanti kalau Arian dan Arion sudah besar, tolong selalu hindari hal-hal yang buruk apalagi berbuat jahat ke orang lain. Jangan ya, nak?”

“Arian dan Arion anak Ibu, tumbuhlah jadi anak yang berperilaku baik, nak. Doa Ibu selalu menyertai kalian berdua.”

Kalimatnya saat itu menjadi akhir dari tugasnya untuk menjaga panti asuhan melati, kondisinya semakin memburuk dan tidak tertolong.

Dian meninggal dunia dengan disaksikan oleh si kecil Arian dan Arion.

Khianat.

Suasana semakin tidak terkira, sudah sedikit kacau namun manusia tak berhati ini masih memasang wajah tenangnya, ia suka suasana seperti ini.

Ruangan tua ini masih sama seperti terakhir kali lelaki berbusana biru menyapa Darka, masih kumuh dan menjijikkan. Beberapa bangkai tikus terlihat berada di ujung ruangan. Sungguh sangat tidak layak jika seorang manusia berada di sini.

“Woi Arian! lepasin gua!” teriak Darka sekeras mungkin pada seseorang bernama 'Arian' di depannya itu.

Lelaki itu hanya tersenyum tipis, senyum manis yang meremehkan, “gua masih abang lo, yang sopan.”

“Abang? abang apaan maksud lo? abang macam apa yang kayak lo gini?”

Ucapan Darka tak kalah tajamnya, membuat sang empunya geram setengah mati pada korbannya ini.

“Listen, I can do anything now. Jadi jaga omongan lo,” jawabnya.

Tapi Darka tetaplah Darka, ia tetap tak merasa terancam dengan ucapan lelaki itu. Darka sangat marah ketika mendengar orang-orang itu mengincar teman-temannya, maka dari itu ia terus mengumpat tanpa henti. Ia tak suka teman-temannya diusik.

“Pengkhianat, siapa atasan lo? tell him to find me.”

“Oh, what's wrong?” suara seseorang dari arah pintu belakang menggema ke seluruh ruangan.

Lelaki itu berjalan medekat ke arah Darka dan Evan, memperhatikan gerak-gerik keduanya.

“Kenapa sih lo?” tubuhnya ia hadapkan pada Darka yang sekarang berada di depannya.

Dan betapa terkejutnya Darka melihat seseorang di depannya, matanya seperti enggan untuk melihat ke arah lain selain orang di depannya saat ini.

Sementara lelaki itu hanya tersenyum sinis menatap sang korban, menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Kenapa Van?” tanyanya pada seseorang di sampingnya.

“Nyusahin, bikin susah aja.”

Darka hanya terdiam melihat percakapan keduanya, terkejut melihat seseorang yang sangat ia kenali berada di depannya.

“Lo.. bang? lo yang ngelakuin ini semua?” suaranya melemah.

Ia berharap lelaki itu menyangkal pertanyaannya meskipun fakta telah berbicara di depan matanya.

“I'm sure you already know the answer, gak perlu nanya lagi.”

“Bang? we're friends right?” ia masih berusaha mencerna semua yang ia lihat.

“Fuck with this friendship, lo pikir gua peduli?”

Mendengar itu, Darka mulai tersulut emosi. Ia kecewa pada temannya ini, hari-hari yang mereka lalui ternyata tak pernah berarti bagi orang ini.

Darka menatap wajah lelaki di depannya dengan tajam. Lalu tersenyum kecil.

“Wow, so you are the mastermind behind all this? hebat ya.”

Ia memalingkan wajahnya sesaat, “emang bener, dua-duanya pengkhianat.”

“I'm like this because of you and your fucking friends,”

“Gara-gara lo bokap gua meninggal, gara-gara lo desak gua waktu event sekolah waktu itu bokap gua gak tertolong,” lanjutnya penuh penekanan.

Darka hanya mengernyitkan keningnya, apa yang dimaksud orang ini.

Bahkan sedari dulu, ketika mereka sama-sama masih menginjak bangku SMP ia dan teman-temannya sudah memaksanya untuk bercerita, tetapi lelaki itu hanya menolaknya dengan alasan 'tidak apa apa.'

Jawaban itu terus-menerus ia lontarkan ketika teman-temannya bertanya.

“What the fuck are you saying? waktu itu kita nanyain lo kenapa kan? then what? you refuse to tell a story,”

“Sampai sekarang lo dendam sama orang yang bahkan sama sekali gak nyentuh mayat bokap lo, brengsek. Lo sinting. Lo sendiri yang bikin bokap lo meninggal karena gak mau berbagi sama orang lain, lo sok tegar,” amarah Darka meluap, ia tak terima teman-temannya dianggap menjadi pembunuh.

Tangan lelaki itu mengepal, ia tak suka mendengar kalimat yang keluar dari mulut 'mantan' temannya ini.

“Diem! Tutup mulut lo,” ucapnya menahan amarah.

“Apa? lo sadar akan fakta itu, kan? tapi lo gak pernah mau terima, lo merasa bersalah but you cover your issue by blaming other people, so embarrassing,”

“Jangan pernah salahin temen-temen gua, karena lo sumber dari masalah lo sendiri. And you feel cool by doing criminal things for your dad? hahaha no bitch, your fucking embarrassing. Lo—”

“I SAID SHUT UP!”

Lelaki itu berteriak, tangannya merogoh sebuah pistol dari dalam sakunya. Pistol itu ia arahkan pada Darka yang juga sama-sama tersulut emosi.

“APALAGI? YOU WANT TO DENY? LO TEMEN TERBRENGSEK YANG PERNAH GUA TEMUIN. BOKAP LO GAK AKAN MATI KALAU LO MAU TERBUKA, YOU DAMN TRAITOR!”

DOR! DOR! DOR!

Tiga suara tembakan menggema ke seluruh ruangan kosong ini, lelaki itu berhasil menembakkan pelurunya pada Darka.

“I said I never play with my words.” ia menatap tajam tubuh Darka yang tergeletak di depannya.

Darka berusaha untuk tidak menutup matanya meski rasa sakit yang luar biasa hebat menggerogoti tubuhnya.

BRAKK!

Pintu belakang ruangan itu tiba-tiba didobrak entah oleh siapa, Darka tak sanggup untuk melihatnya. Ia hanya menggunakan indera pendengarannya untuk memastikan.

Orang itu adalah Arion, ia mendobrak pintu tanpa ampun dan menatap Darka yang tergeletak lemah di sana.

“Brengsek! Lo semua brengsek!”

Bugh!

“Gua udah bilang jangan berbuat kriminal bangsat,” “Evan Arian, you're breaking a rule that we've made since childhood,”

Bugh!

“Dan lo, gua tau lo temen Fina. You really are the true definition of a traitor,”

Bugh!

Arion memukuli keduanya seperti orang kesetanan, ia benar-benar tak percaya pada seseorang yang wajahnya terlihat baik di depan semua orang namun ternyata sangat busuk di belakang.

Suasana semakin ricuh, Arion masih berusaha menghabisi orang-orang bawahan temannya—Ah, mantan temannya.

Namun ia melihat dari ujung matanya, Evan dan lelaki yang mengaku sebagai atasannya itu berlari berusaha kabur dari tempat ini.

Meskipun tubuhnya terasa remuk ia berusaha setengah mati merogoh ponselnya yang berada di sampingnya, berusaha menghubungi siapapun yang saat ini bisa di temui.

“H-halo..”

Surprise.

Lelaki bertubuh tinggi kini terduduk lemas di kursi kumuh yang entah sudah berapa tahun umurnya. Kursi itu begitu rapuh dan kusam.

Tempat itu juga sangat lusuh dan sangat kotor, tampak seperti area shooting film-film horror yang sering ditayangkan di televisi. Dindingnya banyak sekali ditumbuhi lumut, juga tak sedikit tanaman-tanaman liat yang menghiasinya.

Di sekitarnya banyak sekali material-material yang mungkin tidak bisa lagi disebut material, barang-barang itu lebih pantas disebut rongsokan yang seharusnya dihancurkan.

“Oh, are you awake?”

Sapa seseorang dari arah pintu yang berada di belakangnya, tubuh lelaki itu tinggi menjulang. Sepertinya ia sering berolahraga.

Pakaiannya serba biru, dimulai dari ripped jeans serta kemeja biru dan topi yang ia kenakan. Dan tak lupa liontin yang bertengger di lehernya, seakan sedang disembunyikan di dalam kemeja birunya, namun siapapun pasti bisa melihat liontin itu.

“Halo Darka, dongak dong. Liat nih siapa,”

Benar, Seseorang yang disapanya adalah Darka. Anak itu sudah sangat tidak mampu melakukan apapun, saat ini ia hanya mengandalkan tangan dan matanya untuk bergerak.

Efek obat bius yang terus-menerus diberikan oleh orang-orang itu membuatnya lemas tak berdaya, ditambah dengan tubuhnya yang diikat kuat dengan rantai besi yang begitu menyakiti kulitnya.

Darka mendongakkan kepalanya, matanya sayu, berusaha melihat seseorang yang tengah mencengkeram lehernya itu.

Dan betapa terkejutnya ia melihat seseorang di depannya, manik mata yang tadinya enggan untuk melihat kini terbuka sempurna,

“Bang?!!” suaranya menggelegar ke seluruh ruangan kumuh ini.

“Hahaha halo, surprise!”

Seseorang serba biru itu merentangkan tangannya seakan menikmati wajah terkejut pada korban di depannya ini.

“Bang? did you do all this?” ucapnya, suara Darka kini sedikit melemah namun tetap seakan menuntut penjelasan.

“Engga, target gua bukan lo. Gua cuma lancarin aja dikit-dikit.”

Darka seakan tersulut emosi, matanya menatap orang di depannya. Tangannya mengepal erat, ingin sekali ia menghabisinya.

“Cih hahaha. Bang, begini ya bentukan manusia munafik?”

Kejutan.

Sehabis menerima pesan dari seseorang yang entah siapa identitasnya itu Fina bergegas pergi ke tempat yang diberitahukan sebelumnya.

Sebenarnya hari ini teman-temannya mengajaknya untuk bertemu untuk membicarakan soal Darka yang hilang entah kemana, namun ia memutuskan untuk menolaknya, perjanjian ini lebih penting untuknya.

Kini dirinya berdiri di depan gedung kosong yang letaknya bersebelahan dengan rumah sakit farma yang kabarnya akan di gusur dalam waktu dekat.

Bangunan itu terlihat berantakan sekali, tanaman-tanaman liar tumbuh dimana-mana. Terlihat sangat sunyi sedikit membuat kesan ngeri di dalamnya semakin kuat.

Fina melangkahkan kakinya semakin dekat dengan bangunan itu, melihat kesana-kemari untuk memastikan ada manusia lain di sana.

“Fina, ya?” seseorang menepuk pundaknya pelan.

Ia membalikkan badannya, laki-laki dengan badan tegap dan kulit putih serta rambut yang hitam legam tengah berdiri di depannya.

Laki-laki di depannya ini bukan seperti seseorang yang memiliki jiwa kriminalitas.

'Gak kayak manusia kriminal yang gue bayangin..'

Fina mengernyitkan alisnya, “lo? anonim sialan itu?” ucapannya tak terdengar ramah.

“Enggak, gua cuma disuruh dateng dan ngasih lo ini,” tangannya memberikan amplop coklat pada gadis di depannya itu.

“Lo siapanya?”

Tidak ada jawaban, laki-laki itu hanya tersenyum.

“Fina, I'm not as bad as you think..” “Lo gak perlu waspada sama keberadaan gua,” kalimatnya seperti terhenti, ia mendekatkan wajahnya pada daun telinga Fina. Seperti membisikkan sesuatu disana,

“Tapi lo harus waspada sama temen-temen lo sendiri..”

Perempuan itu bergidik, seperti tersihir akan ucapan lelaki yang tak dikenalnya ini.

Fina menatap ke dalam mata lelaki itu, mencari kebohongan yang mungkin akan ditemuinya di sana.

Tapi nihil, laki-laki ini tak menyimpan kebohongan apapun.

Traitor.

Suara dentingan cangkir kopi dan asap nikotin yang di hembuskan oleh keduanya menemani percakapan keduanya.

Malam ini biasa saja, hanya ada percakapan dua orang teman yang sepertinya memilih untuk bersantai daripada harus berkecimpung dengan manusia-manusia lain di luar sana.

Pembahasan di ruangan ini cukup serius namun masih terbilang santai.

“It's actually easy to get along with him,” “Tapi emang lo nya aja yang problematic.”

Ia menyeruput kopinya, lalu menatap seseorang di depannya.

“Lo gak ngerti, I wouldn't be like this if they could be fair.”

Lelaki itu menghembuskan nafasnya, tidak menyangka dengan jalan pikiran temannya ini, “Ya kalau gitu berarti lo yang goblok,” “You don't like their treatment but you hate people who don't even know anything, Rian,” lanjutnya.

“Tapi dengan gua singkirin dia, semuanya selesai kan?” “So I can get what I want..” senyum liciknya terukir sempurna, tidak ada raut ramah lagi di wajahnya. Iblis sudah mengambil alih batin dan pikirannya.

Sekali lagi lelaki itu menghela nafasnya, memijat pangkal hidungnya yang sepertinya mulai sakit karena mendengar hal tidak wajar dari seseorang di depannya ini.

Ia mengeluarkan liontin biru milik seseorang bernama 'Rian' itu, ia tau bahwa liontin ini adalah favoritnya sejak lama dan juga warnanya adalah warna kesukaannya.

“Lo inget kan?” laki-laki menunjukkan liontin itu, “lo tau kan kalo kita gak pernah diajarin buat ngelakuin hal kriminal?”

Ia menatap liontin kesukaannya, mengagumi warnanya yang begitu indah. Namun sayangnya ia enggan untuk memutar memori tentang seluk-beluk liontin itu.

“Let the past be the past, jangan ungkit lagi.”

“Hahaha, Rian. Lo buang liontin ini biar lo bisa ngelakuin hal bejat lo itu kan?” “Gua tau lo pasti gak akan mampu ngelakuin hal kayak gini kalau lo masih nyimpen ini, because everything we've been through and what Mom has taught us is all in this pendant.”

“Don't talk about Mom, ibu gua cuma satu dan dia masih disini.”

Ia tertawa hambar, tak percaya pada sikap temannya ini.

“Rian, hahaha. Congratulations, you have become a traitor and the most depraved human in the whole world.” “You. Are. A traitor.”

Obrolan

“Wassup!” sapa seseorang dari arah pintu masuk cafe bernuansa coklat muda ini.

Cafe ini cukup terpencil dan tidak mudah terlihat oleh beberapa orang.

“Udah lama?”

“Chill, baru aja kok”

“Jadi gimana?” tanya pria itu kepada seseorang di depannya. Dua lelaki ini tampaknya sangat akrab, seperti kawan lama yang tengah berbincang bersama.

“I want to start with fina first, main-main sama dia kayaknya lumayan seru,” ujur bibir lekaki itu terangkat, seakan siap dengan semua permainannya.

“Hahaha, I hope this plan goes well. Gua udah muak sebenernya,” ucapnya, tangannya ia gunakan untuk menggantung jaket dan topi biru di sebelah kursinya.

“Hari ini mereka kumpul,” lanjut si lelaki dengan sepuntung rokok di tangannya, “gua skip hahah, males.”

“Because of what they said yesterday?”

Ia mengangguk sebagai balasannya,

“Gua juga takut mereka sadar sama ekspresi gua, you know that I can't control my face when I'm annoyed with people,”

“They've dared to bring up problems that they shouldn't have to bring up, apalagi ini about my dad.”

Lelaki di depannya tertawa, ia paham bahwa kawannya ini tengah dilanda rasa kesal dan gusar yang bertubi-tubi.

“so? shall we carry out this plan?”

“ofc, now.”

Kumpul.

“Waduh, kayaknya udah dari seabad yang lalu nih nunggunya,” suara seseorang mengagetkan seorang gadis di pojok cafe ini.

Fina mendelik, ia sudah menunggu 30 menit. Ya walaupun tidak seberapa tetapi ia tidak suka menunggu.

“Gak usah rusuh, diem, duduk. Udah telat gak usah sok keren,” Fina mengalihkan pandangannya pada ponselnya.

“Galak amat,” celetuk Jenan, tangannya mengambil kentang goreng milik Fina.

“Rivan kemana?” tanya Gian, pasalnya tadi si bungsu kedua itu sudah berada di belakangnya tetapi sekarang sudah hilang entah kemana.

“Jemput Marko.” saut Fina.


“15 menit, lo berdua masih umroh dulu?” tanya Fina pada dua orang di depannya, Marko dan Rivan.

“Bang Marko masih buang hajat.”

“Jorok.”

Kegiatan sehari-hari mereka selalu seperti ini, pulang dari kampus pasti akan menyempatkan waktunya untuk berkumpul sambil menikmati makanan-makanan—yang kalau kata Dion, 'ini cafe pake jampi-jampi gak sih? kok bisa nikmat begini?'

Biasanya segala hal dibicarakan, dimulai dari kisah masa lalu dan rencana yang akan dilakukan di masa depan.

Kali ini Jenan mengangkat topik tentang masa lalu mereka ketika menginjak bangku SMP kelas 2, Saat itu Fina belum bergabung dengan mereka. Ia baru bergabung ketika kelas 10 SMA, tepatnya ketika Fina tak sengaja membuat ketujuh temannya itu terpeleset saat ia dihukum mengepel koridor sekolah.

“Eh tapi lo inget gak sih? yang waktu Dion ketar-ketir soalnya dipilih buat jadi panitia event,” tawanya tertahan ketika melihat Dion yang tengah menatapnya tajam.

“Lah iya, untung ketuplak nya si Marko.” – Juna

“Tapi kasian Marko deh, anak buahnya kayak lo semua. Pasti gak becus,” ejek Fani, sedari tadi ia hanya menyimak cerita teman-temannya.

“Bener sih, selesai event gua langsung demam.” – Marko

“Alay, demam doang.” – Rivan

“Tau tuh, gua yang tipes biasa aja ini” – Gian

Event sekolah mereka dulu cukup menarik, dengan Marko yang menjadi ketuplak dan keenam temannya yang ternyata juga menjadi panitia acara.

Tidak ada yang salah pada acara itu, semua berjalan lancar. Dulu, mereka membanggakan diri atas keberhasilannya.

Namun, tidak dengan seseorang yang ternyata belum selesai dengan kisah masa lalunya yang begitu buruk. Ia tak senang, sangat tidak suka dengan percakapan ini.

'Event sekolah bahkan jadi kenangan paling buruk yang pernah ada buat gua, bisa-bisanya lo masih bisa bersikap biasa aja'