Khianat.
Suasana semakin tidak terkira, sudah sedikit kacau namun manusia tak berhati ini masih memasang wajah tenangnya, ia suka suasana seperti ini.
Ruangan tua ini masih sama seperti terakhir kali lelaki berbusana biru menyapa Darka, masih kumuh dan menjijikkan. Beberapa bangkai tikus terlihat berada di ujung ruangan. Sungguh sangat tidak layak jika seorang manusia berada di sini.
“Woi Arian! lepasin gua!” teriak Darka sekeras mungkin pada seseorang bernama 'Arian' di depannya itu.
Lelaki itu hanya tersenyum tipis, senyum manis yang meremehkan, “gua masih abang lo, yang sopan.”
“Abang? abang apaan maksud lo? abang macam apa yang kayak lo gini?”
Ucapan Darka tak kalah tajamnya, membuat sang empunya geram setengah mati pada korbannya ini.
“Listen, I can do anything now. Jadi jaga omongan lo,” jawabnya.
Tapi Darka tetaplah Darka, ia tetap tak merasa terancam dengan ucapan lelaki itu. Darka sangat marah ketika mendengar orang-orang itu mengincar teman-temannya, maka dari itu ia terus mengumpat tanpa henti. Ia tak suka teman-temannya diusik.
“Pengkhianat, siapa atasan lo? tell him to find me.”
“Oh, what's wrong?” suara seseorang dari arah pintu belakang menggema ke seluruh ruangan.
Lelaki itu berjalan medekat ke arah Darka dan Evan, memperhatikan gerak-gerik keduanya.
“Kenapa sih lo?” tubuhnya ia hadapkan pada Darka yang sekarang berada di depannya.
Dan betapa terkejutnya Darka melihat seseorang di depannya, matanya seperti enggan untuk melihat ke arah lain selain orang di depannya saat ini.
Sementara lelaki itu hanya tersenyum sinis menatap sang korban, menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Kenapa Van?” tanyanya pada seseorang di sampingnya.
“Nyusahin, bikin susah aja.”
Darka hanya terdiam melihat percakapan keduanya, terkejut melihat seseorang yang sangat ia kenali berada di depannya.
“Lo.. bang? lo yang ngelakuin ini semua?” suaranya melemah.
Ia berharap lelaki itu menyangkal pertanyaannya meskipun fakta telah berbicara di depan matanya.
“I'm sure you already know the answer, gak perlu nanya lagi.”
“Bang? we're friends right?” ia masih berusaha mencerna semua yang ia lihat.
“Fuck with this friendship, lo pikir gua peduli?”
Mendengar itu, Darka mulai tersulut emosi. Ia kecewa pada temannya ini, hari-hari yang mereka lalui ternyata tak pernah berarti bagi orang ini.
Darka menatap wajah lelaki di depannya dengan tajam. Lalu tersenyum kecil.
“Wow, so you are the mastermind behind all this? hebat ya.”
Ia memalingkan wajahnya sesaat, “emang bener, dua-duanya pengkhianat.”
“I'm like this because of you and your fucking friends,”
“Gara-gara lo bokap gua meninggal, gara-gara lo desak gua waktu event sekolah waktu itu bokap gua gak tertolong,” lanjutnya penuh penekanan.
Darka hanya mengernyitkan keningnya, apa yang dimaksud orang ini.
Bahkan sedari dulu, ketika mereka sama-sama masih menginjak bangku SMP ia dan teman-temannya sudah memaksanya untuk bercerita, tetapi lelaki itu hanya menolaknya dengan alasan 'tidak apa apa.'
Jawaban itu terus-menerus ia lontarkan ketika teman-temannya bertanya.
“What the fuck are you saying? waktu itu kita nanyain lo kenapa kan? then what? you refuse to tell a story,”
“Sampai sekarang lo dendam sama orang yang bahkan sama sekali gak nyentuh mayat bokap lo, brengsek. Lo sinting. Lo sendiri yang bikin bokap lo meninggal karena gak mau berbagi sama orang lain, lo sok tegar,” amarah Darka meluap, ia tak terima teman-temannya dianggap menjadi pembunuh.
Tangan lelaki itu mengepal, ia tak suka mendengar kalimat yang keluar dari mulut 'mantan' temannya ini.
“Diem! Tutup mulut lo,” ucapnya menahan amarah.
“Apa? lo sadar akan fakta itu, kan? tapi lo gak pernah mau terima, lo merasa bersalah but you cover your issue by blaming other people, so embarrassing,”
“Jangan pernah salahin temen-temen gua, karena lo sumber dari masalah lo sendiri. And you feel cool by doing criminal things for your dad? hahaha no bitch, your fucking embarrassing. Lo—”
“I SAID SHUT UP!”
Lelaki itu berteriak, tangannya merogoh sebuah pistol dari dalam sakunya. Pistol itu ia arahkan pada Darka yang juga sama-sama tersulut emosi.
“APALAGI? YOU WANT TO DENY? LO TEMEN TERBRENGSEK YANG PERNAH GUA TEMUIN. BOKAP LO GAK AKAN MATI KALAU LO MAU TERBUKA, YOU DAMN TRAITOR!”
DOR! DOR! DOR!
Tiga suara tembakan menggema ke seluruh ruangan kosong ini, lelaki itu berhasil menembakkan pelurunya pada Darka.
“I said I never play with my words.” ia menatap tajam tubuh Darka yang tergeletak di depannya.
Darka berusaha untuk tidak menutup matanya meski rasa sakit yang luar biasa hebat menggerogoti tubuhnya.
BRAKK!
Pintu belakang ruangan itu tiba-tiba didobrak entah oleh siapa, Darka tak sanggup untuk melihatnya. Ia hanya menggunakan indera pendengarannya untuk memastikan.
Orang itu adalah Arion, ia mendobrak pintu tanpa ampun dan menatap Darka yang tergeletak lemah di sana.
“Brengsek! Lo semua brengsek!”
Bugh!
“Gua udah bilang jangan berbuat kriminal bangsat,” “Evan Arian, you're breaking a rule that we've made since childhood,”
Bugh!
“Dan lo, gua tau lo temen Fina. You really are the true definition of a traitor,”
Bugh!
Arion memukuli keduanya seperti orang kesetanan, ia benar-benar tak percaya pada seseorang yang wajahnya terlihat baik di depan semua orang namun ternyata sangat busuk di belakang.
Suasana semakin ricuh, Arion masih berusaha menghabisi orang-orang bawahan temannya—Ah, mantan temannya.
Namun ia melihat dari ujung matanya, Evan dan lelaki yang mengaku sebagai atasannya itu berlari berusaha kabur dari tempat ini.
Meskipun tubuhnya terasa remuk ia berusaha setengah mati merogoh ponselnya yang berada di sampingnya, berusaha menghubungi siapapun yang saat ini bisa di temui.
“H-halo..”