writejelin

Sudah Resmi.

“Kak!” panggil seseorang dari arah depan parkiran. Seorang perempuan bertubuh mungil sedang menunggunya disana, tangannya melambai seperti memberi isyarat.

“Udah lama?” tanyanya, tangannya terulur merapikan rambut gadis di depannya.

“Lama! udah ah ayo cepetan.”

Senyum Hugo terukir ketika melihat Orel yang sedikit menghentakkan kakinya.


Kini keduanya sudah sampai pada tempat itu, tempat yang menjadi saksi tentang jatuhnya sebuah rasa.

“Lo ga bosen apa sering jajan cilor mulu?” tanya si gadis.

“Ya engga, kan lo suka juga?”

Orel tidak menjawab, hanya mengernyitkan dahinya. Heran dengan sikap kakak kelasnya ini.

Saat-saat seperti ini memang sudah biasa ada di antara keduanya. Flirting, saling merayu, dan tentu saja skinship sering dilakukan oleh Hugo dan Orel. Namun sayangnya, tidak ada status yang jelas.

“Nin,” Hugo membuka suaranya, “lo sama Nando udah deket banget?”

“Kok nanya gitu?”

“Ya apa salahnya nanya?”

“Gue sama kak Nando cuma sebatas partner mb aja kak, kalau pun deket ya deket karena ekskul doang.” jelasnya, hal seperti ini jarang terjadi antar keduanya.

Jikapun ada, tidak akan ada yang bertanya terlebih dahulu.

“Lo suka Nando ga nin?”

Lagi-lagi Orel dibuat kaget dengan pertanyaan lelaki di sebelahnya, Aneh sekali.

“Hahaha, ya engga lah? kan udah gue bilang gue sukanya sama lo.”

Orel mengucapkan fakta tersebut dengan santai, akhir-akhir ini ia sengaja ingin berterus-terang saja soal perasaannya.

“Yaudah..” tidak ada konteks yang jelas di dalam perkataan Hugo.

“Yaudah apa?”

“Yaudah, ayo pacaran.” lanjutnya tanpa ragu.

Orel tertawa terbahak-bahak, karena sunggu, pernyataan seperti ini terdengar asing di telinganya, “Lucu lo, ga jago ngelawak.”

“Gua ga ngelawak nin, serius.”

Orel menghentikan tawanya, melihat wajah Hugo yang terlihat sangat serius membuat jantungnya berdetak begitu kencang.

“Anindya, gua suka lo. Maaf karena pernah nyakitin lo, tapi kali ini gua beneran,”

“Lo mau ga jadi pacar gua?”

Tatapan Hugo begitu dalam, sehingga rasanya ia tenggelam di dalam sana. Tidak ada satupun kalimat yang bisa ia lontarkan sekarang, dirinya dibuat terombang-ambing.

Mencintai Hugo memang diluar kendalinya juga tidak pernah ia duga-duga. Dua bulan ini ia habiskan hanya dengan bersama Hugo, jalan-jalan, makan pecel lele, dan lain sebagainya.

Maka jika ditanya, bagaimana perasaannya pada Hugo maka Orel akan diam. Karena sesungguhnya, perasaan itu pun makin meluap setiap harinya dan dia sendiri tidak bisa mengendalikannya.

Pertanyaan Hugo barusan membuat kesadarannya kembali, ia menatapnya lekat. Lalu selanjutnya menganggukkan kepalanya,

“Iya. Iya gue mau.”

Hugo mengembangkan senyumnya, penantiannya tidak sia-sia. Resah gelisahnya juga sudah terbayarkan.

Perempuan di depannya ini, kini sudah menjadi miliknya.

Sang Maha sedang menautkan tali sorak dan sorai, sang puan pun juga sedang berharap dalam hati tentang 'Kisah Selamanya' di antara keduanya.

Mari menaruh harap, sedikit saja.

Calon Kekasih.

Suasana pagi ini cukup tenang, sekolah Orel masuk tidak terlalu pagi hari ini. Jadi dia bisa bersantai sebentar dan sesekali membersihkan rumah.

“Abang berangkat jam berapa?” tanyanya sembari menyapu lantai.

“Bareng aja nanti. Masuk jam berapa sih kamu?”

“Jam 8.”

Radit mengangguk dan kembali menonton acara TV yg sebenarnya tidak ada yang menarik disana.

Sementara Orel hanya berjalan kesana-kemari merapikan segala sesuatu yang menurutnya tidak rapih, gadis ini memang selalu suka sekali bersih-bersih.

Sejak kecil ia selalu melihat mamanya yang selalu membersihkan rumah setiap pagi, hal itu membuatnya tertarik. Menurutnya membersihkan rumah adalah sesuatu yang keren. Aneh memang.

Sekarang jam menunjukkan bukun 7 lewat 15 menit, Orel menyelesaikan pekerjaannya dan segera berlari ke arah kamar mandi,

“Abang, adek mandi dulu ya. Abang siap-siap, adek gamau nunggu!” teriaknya dari arah kamar mandi.

Radit hanya menggelengkan kepalanya, tak heran akan sikap adik kecilnya itu.

Setelah selesai dengan urusannya di kamar mandi, Orel keluar dengan seragamnya yang sudah terpasang rapih.

Ia segera menyiapkan segala keperluannya, lalu turun hendak menghampiri Radit.

Namun langkahnya terhenti ketika melihat seseorang sedang mengobrol santai dengan abangnya. Perawakannya tidak terlihat jelas karena lelaki itu membelakanginya.

“Abang? ada siapa?”

Radit sedikit terkejut, namun langsung tersenyum setelahnya

Orel terkejut setengah mati ketika melihat lelaki itu membalikkan badannya, orang itu Hugo, seseorang yang membuatnya kesal setengah mati kemarin.

“Loh? ngapain disini?” cetusnya.

“Mau berangkat bareng lo.”

“Gamau, gue bareng bang Radit.”

Hugo melirik ke arah Radit lalu tersenyum kecil, ia berdiri lalu menghampiri Orel. Dengan cepat Hugo menarik pergelangan tangan orel pelan, “Bang, kita berangkat dulu ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Radit terkekeh melihat wajah adiknya yang terlihat kesal.


“Apaan sih lo?” protes Orel pada Hugo.

“Gua mau berangkat bareng lo.” ucap Hugo singkat tanpa melihat ke arah Orel.

“Tapi gue gamau!”

Mendengar itu Hugo langsung mengeluarkan cilor buatan bundanya dari dalam tas nya.

“Yakin gamau?” Hugo menggoda Orel dengan benda yang ada di tangannya, sesekali mendekatkan makanan itu pada hidung Orel.

“Yang ini spesial, buatan bunda gua,”

“Tapi kalo gamau yaudah, gue ambil lagi cil—” Hugo hendak memasukkan kembali cilor yang ada di tangannya, namun perempuan di sebelahnya menghentikan aksinya.

“Mau!”

“Mau, sini cepetan!”

Hugo tersenyum tipis lalu menatap Orel, “Tadi katanya gamau? yaudah sana turun, cilornya buat gua aja.”

“Ihh,” Orel segera merebut cilor yang ada di tangan Hugo, “udah ngasih gaboleh di ambil lagi.”

Perkataannya berhasil membuat Hugo terbahak-bahak, “Gemes banget sih.”

Tangan lelaki itu terangkat mengusak rambut Orel, sang empu hanya terdiam dan diam-diam tersenyum tipis.

“Berangkat ga nih?” lanjutnya, Orel menganggukkan kepalanya.

Lalu, sedetik kemudian wajah Hugo tiba-tiba berada dekat sekali dengan wajahnya, “K-kak?”

“Seatbelt nya belum dipasang cantik.”

Wajah Orel sudah sangat merah saat ini, Hugo terkekeh melihat tingkah adik kelasnya yang terlihat salah tingkah.

“Beneran berangkat ga nih?” Hugo menolehkan kepalanya pada Orel.

“Ya berangkat aja sih?!”

Tawa Hugo meledak saat itu juga, sangat menyenangkan melihat wajah salah tingkah calon kekasihnya ini.

Kesal.

“Idih, siapa nih bikin nasi goreng.” ujar Radit dengan wajah bangun tidurnya.

“Setan,” cetus Orel, “ya adek lah.” Lanjutnya sembari menyendokkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutnya.

Suasana rumah kali ini lumayan sepi, Mama dan Papa Orel masih belum kembali dari dinas kerjanya.

Dirumah hanya tersisa Orel dan Radit. Tadinya Jessica—Mama Orel ingin mencari ART untuk sekedar menemani Orel dan Radit dirumah, tetapi keduanya menolak karna mereka pikir masih bisa mengurus rumah meskipun hanya berdua saja.

Suara dari denting piring milik keduanya saling bersautan, terdengar jelas karena keadaan rumah yang sepi, “Hari ini mau dianter gak?”

“Gausah.”

Radit mengernyit, tidak biasanya adik perempuannya ini menolak ajakannya,

“Lah, kenapa? mau pake ojek online aja?” tanyanya heran.

“Enggak, mau bareng temen.” Orel mengulum senyumnya mengingat dengan siapa dia akan berangkat sekolah hari ini.

“Ohh, siapa?”

“Mau tau banget sih bang?” lanjutnya.

Orel segera berdiri dari duduknya lalu meraih tas sekolah yang berada di sampingnya, “Adek mau tunggu di ruang tamu. Abang makan aja.”

“Punya pacar lo ya?!” teriak Radit pada Orel yang tengah berjalan ke arah ruang tamu.

“GAAAK, DIEM DEH!”


Sudah 30 menit Orel terduduk di ruang tamu besar ini, menunggu kehadiran seseorang yang di harapkan nya. Namun sayang, yang ditunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

“Loh, kok belum berangkat?” Radit turun dari kamarnya sembari menenteng tas yang biasa ia pakai ke kampus.

“Heh, kalo ditanya tuh jawab.” tegur Radit.

“Gatau ah,” Orel melipat tangannya kesal, “kesel.”

Radit tertawa terbahak-bahak melihat tingkah adik kecilnya itu, tidak biasanya ia mau menunggu seseorang selama ini.

“Yaudah, ayo abang anterin aja. Udah 30 menit kamu disini, 5 menit lagi bel masuk.”

Orel mendongak, menatap paras Radit lalu mengerucut sebal,

“Yaudah, ayo”

Orel berjalan sambil menghentakkan kakinya, Radit hanya tertawa dibuatnya.

“Lucu juga adek gua.”

Hanan dan kisah kasih di atas piano.

Malam itu alam semesta sedang mencurahkan seluruh isi hatinya, kota Jakarta seperti sedang ikut kehilangan setengah jiwanya. Aku masih bisa mencium bau hujan di luar sana, setitik air hujan seperti menjadi melodi yang paling indah untuk menghiasi keheningan yang membelenggu.

Jalanan di luar ruangan berkaca ini tidak begitu sepi, masih banyak insan yang sedang berlalu-lalang tampak terburu-buru ingin cepat sampai pada tujuan.

Suara dentingan piring dan sendok dari arah dapur mengisi kekosongan di rumah ini, itu Ibu yang sedang memasak sup daging untuk makan malam nanti.

Jumantara terlihat gelap hari ini, di iringi suara dan kilatan guntur yang bersaut-sautan. Ah.. Sang Maha juga sedang menemani ku bersedih rupanya.

Setahun sudah, waktu banyak sekali mencuri segalanya dariku. Semuanya berjalan seperti ini, seperti seharusnya.

Piano yang terletak di sudut ruangan ini pun masih sama, masih sama indahnya. Hanya saja, sang pianis tidak lagi disini.

Laki-laki itu—Hananta, yang biasa aku olok-olok hanya karena namanya yang hampir mirip dengan nama perempuan, “Hananta, namamu jelek. Kayak cewek.”

Hanan tidak pernah sekalipun tersinggung. Kekasih ku, Hanan, selalu punya banyak sekali cara untuk menyenangkan hati ku.

Hanan suka sekali dengan piano, ia suka sekali dengan dunia musik. Namun sayangnya, dunia tidak selalu berpihak padanya. Ibu dan ayah Hanan menentang keras akan hal itu.

Hanan, aku suka deh kalau kamu main piano.”

Kalau kamu suka, aku akan terus main piano buat kamu.”

Selanjutnya, detik itu juga, aku mendeklarasikan bahwa piano di sudut ruangan ini adalah hak paten milik Hanan. Hanya Hanan yang boleh memainkannya, tentunya untukku.

Aku memandangi piano yang mulai berdebu, sudah setahun piano itu kehilangan pianis khususnya. Sedikit berubah, piano itu terlihat muram di ujung sana.

Aku mencoba menekan tuts piano ini, “Hanan, ini mainnya gimana sih? begini? terus harus tekan yang mana lagi?

Aku mulai menduduki kursi yang dulunya adalah tempat kebesaran Hanan,

Kok bisa nyambung melodinya? kamu tekan yang mana aja?

Bayangan Hanan yang menuntun jemari ku di atas tuts piano ini kembali terputar, tangan Hanan yang lembut membuatku enggan untuk melepaskannya.

Hanan, piano ini akan jadi saksi tentang bagaimana kita berdua saling mencintai, ya?

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Emangnya kamu mau kemana? kamu aja yang mainin pianonya, aku gak bisa main piano.”

Setelah kalimat terakhir yang aku lontarkan, Hanan hanya tersenyum. Senyumnya selalu menjadi pemandangan favoritku ketika kami bertemu, kehadiran Hanan adalah anugerah pemberian semesta yang paling aku syukuri.

Seketika, ruangan ini seperti ramai sekali dengan gelak tawa Hanan. Bayangan Hanan yang tengah berakting menjadi penyanyi di gedung besar seperti muncul begitu saja di depan ku, Hanan yang sedang kebingungan mencari charger nya, Hanan yang tengah mengomel karena aku tidak sengaja menghilangkan hoodie nya, dan Hanan yang tengah memelukku dengan erat saat ini.

Ya Tuhan, pelukannya sangat nyata. Hangat sekali, wangi lelaki itu seperti memaksa masuk ke dalam indra penciuman ku. Pelukan ini, aku yakin ini adalah Hanan, Hanan-ku. Hanan, aku sedih.

Hanan, aku lagi sedih. Kamu tau gak, tadinya aku harus presentasi. Aku udah siapin ini dari lama, tau-tau dosennya gak hadir!

Hanan hanya menatap ku dengan lekat, lalu garis bibirnya terbentuk,

Aku punya mantra rahasia, biar sedihnya hilang

Tawarannya membuat aku tergiur,

Kalau gitu, tolong segera sihir aku yang mulia Hanan.

Dalam hitungan detik Hanan memelukku, sangat erat, sesekali mencium pucuk kepala ku. Pelukan Hanan tidak mampu aku tolak, ciumannya adalah obat penenang yang semesta ciptakan khusus untukku.

Hanan adalah sosok yang pandai menyimpan dukanya, ia hanya menunjukkan senyuman polosnya yang ampuh sekali menipu semua orang. Terkadang aku marah sekali pada sang bentala, mengapa Hanan selalu saja diberi penderitaan yang bertubi-tubi.

Hanan, kalau sakit jangan disimpan sendiri. Aku juga pengen ngerasain.”

Gak apa apa, aku baik.”

Hanan, kamu tau kan kalau aku sayang kamu?

Hanan menganggukan kepalanya, wajahnya dihiasi banyak sekali memar dan luka,

Terus, kenapa kamu gak mau berbagi sama aku?

Lagi-lagi Hanan hanya tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut.

Hanan adalah sosok yang misterius, aku tidak diperbolehkan mengetahui tentang dirinya yang sedang kesusahan melawan semesta. Hanan yang ingin hidup orang lain senang, namun membiarkan hidupnya sendiri tercerai-berai.

Senyumnya tidak pernah luntur, entah harus bagaimana aku harus melunturkan senyuman itu karena di baliknya pasti ada sesuatu yang sedang hancur.

Tidak butuh banyak 'karena' untuk mencintai sosok Hanan, Karena lelaki ini adalah sumber dari cinta itu sendiri. Hanan yang ini, milikku.

Ibu pernah bilang, kalau Hanan adalah hadiah dari semesta untukku. Dan aku membenarkan hal itu.

Anala, aku sayang kamu. Ini hadiah dari aku, diterima ya? maaf gak aku kasih langsung. Jangan nangis, jelek!

Catatan terakhir dari Hanan, dengan kotak hitam di sampingnya. Warna hitam, warna yang dibenci Hanan.

Hadiah itu, hadiah yang dimaksud Hanan untukku saat itu adalah awal dari dimulainya kehidupan ku yang penuh dengan jeritan duka.

Saat itu, aku benar-benar mengutuk semesta yang berani sekali merenggut segalanya dari genggaman ku. Semuanya seakan tergoncang, segalanya kacau-balau.

Aku kembali menekan tuts piano, mencoba menyalurkan seluruh perasaan yang masih sama seperti terakhir kali Hanan ada disini, Hanan selalu memainkan piano dengan penuh sukacita.

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya... “

Nanti kalau aku gak ada.. kamu.. yang mainin.. pianonya.. “

Anala, main piano untuk aku ya..”

Bayang-bayang itu, ucapan-ucapan Hanan membuatku hilang kendali. Aku berteriak sekencang mungkin. Sakit, sakit sekali, tubuh ini rasanya seperti kehilangan setengah nyawanya.

Anala, aku sayang kamu..”

Anala, i love you..”

Anala, terimakasih..”

Anala.. ...aku pergi dulu ya.”

Tidak, ini semakin menjadi-jadi. Hanan, seharusnya tidak seperti ini. Sakit sekali, sesak sekali rasanya. Harus sekencang apalagi aku berteriak, suara-suara itu dan rasa sakit ini terus menghujami ku tanpa ampun. Entah sudah berapa banyak benda yang aku lempar kesana-kemari.

“Anala! nak, ini Ibu nak!”

Ibu menepuk pipi kanan dan kiri ku berulang kali, tapi sesak di dadaku tak kunjung hilang. Aku tidak bisa mengendalikannya, ini terlalu menyiksa.

Suara rintik hujan saat itu beradu dengan suara Hanan yang menggema dari segala sudut, dan kilatan guntur menjadi penghiasnya.

Hujan, guntur, dan suara Hanan menjadi saksi penderitaan ku kala itu.

Dengan cepat Ibu menyuapiku dengan obat-obatan yang biasa aku konsumsi setiap harinya, obat-obatan yang menemani ku setelah kepergian Hanan hari itu.

“Anala, jangan suka melamun. Sudah setahun An, Ikhlaskan Hanan. Dia pasti gak suka lihat kamu seperti ini..” Ibu memelukku sangat erat setelah kesakitan ini mereda.

Ucapan Ibu berhasil membuatku makin terisak, isakan yang terdengar menyedihkan.

Sang bentala pasti sedang menertawakan ku saat ini, Anala yang dulu dibahagiakan oleh pujaan hatinya sekarang tengah meringkuk lemah tak berdaya. Hanan, maaf aku tidak bisa menepati janji untuk selalu berbahagia.

Hanan, rasa sakit ini terus-menerus menghantui ku. Hanan, kenapa kamu kejam sekali, kenapa kamu pergi tanpa se-izin ku. Hanan, aku masih belum mampu, aku tidak cukup mampu untuk menghilangkan bayang-bayang kehadiranmu di sini. Kamu memberi ku kebahagiaan sekaligus kesedihan yang tidak akan pernah bisa aku hadapi.

Hanan, sesak sekali. Aku sangat merindukanmu sampai rasanya ingin mati.

Hanan dan kisah kasih di atas piano.

Malam itu alam semesta sedang mencurahkan seluruh isi hatinya, kota Jakarta seperti sedang ikut kehilangan setengah jiwanya. Aku masih bisa mencium bau hujan di luar sana, setitik air hujan seperti menjadi melodi yang paling indah untuk menghiasi keheningan yang membelenggu.

Setahun sudah, waktu banyak sekali mencuri segalanya dariku. Semuanya berjalan seperti ini, seperti seharusnya.

Piano yang terletak di sudut ruangan ini pun masih sama, masih sama indahnya. Hanya saja, sang pianis tidak lagi disini.

Laki-laki itu—Hananta, yang biasa aku olok-olok hanya karena namanya yang hampir mirip dengan nama perempuan, “Hananta, namamu jelek. Kayak cewek.”

Hanan tidak pernah sekalipun tersinggung. Kekasih ku, Hanan, selalu punya banyak sekali cara untuk menyenangkan hati ku.

Hanan suka sekali dengan piano, ia suka sekali dengan dunia musik. Namun sayangnya, dunia tidak selalu berpihak padanya. Ibu dan ayah Hanan menentang keras akan hal itu.

Hanan, aku suka deh kalau kamu main piano.”

Kalau kamu suka, aku akan terus main piano buat kamu.”

Selanjutnya, detik itu juga, aku mendeklarasikan bahwa piano di sudut ruangan ini adalah hak paten milik Hanan. Hanya Hanan yang boleh memainkannya, tentunya untukku.

Aku memandangi piano yang mulai berdebu, sudah setahun piano itu kehilangan pianis khususnya. Sedikit berubah, piano itu terlihat muram di ujung sana. Aku tidak bisa lagi menemukan kebahagiaan pada piano itu, yang terlihat hanya warna-warna kesedihan.

Aku mencoba menekan tuts piano ini, “Hanan, ini mainnya gimana sih? begini? terus harus tekan yang mana lagi?

Aku mulai menduduki kursi yang dulunya adalah tempat kebesaran Hanan,

Kok bisa nyambung melodinya? kamu tekan yang mana aja?

Bayangan Hanan yang menuntun jemari ku di atas tuts piano ini kembali terputar, tangan Hanan yang lembut membuatku enggan untuk melepaskannya.

Hanan, piano ini akan jadi saksi tentang bagaimana kita berdua saling mencintai, ya?

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Emangnya kamu mau kemana? kamu aja yang mainin pianonya, aku gak bisa main piano.”

Setelah kalimat terakhir yang aku lontarkan, Hanan hanya tersenyum. Senyumnya selalu menjadi pemandangan favoritku ketika kami bertemu, kehadiran Hanan adalah anugerah pemberian semesta yang paling aku syukuri.

Seketika, ruangan ini seperti ramai sekali dengan gelak tawa Hanan. Bayangan Hanan yang tengah berakting menjadi penyanyi di gedung besar seperti muncul begitu saja di depan ku, Hanan yang sedang kebingungan mencari charger nya, Hanan yang tengah mengomel karena aku tidak sengaja menghilangkan hoodie nya, dan Hanan yang tengah memelukku dengan erat saat ini.

Ya Tuhan, pelukannya sangat nyata. Hangat sekali, wangi lelaki itu seperti memaksa masuk ke dalam indra penciuman ku. Pelukan ini, aku yakin ini adalah Hanan, Hanan-ku. Hanan, aku sedih.

Hanan, aku lagi sedih. Kamu tau gak, tadinya aku harus presentasi. Aku udah siapin ini dari lama, tau-tau dosennya gak hadir!

Hanan hanya menatap ku dengan lekat, lalu garis bibirnya terbentuk,

Aku punya mantra rahasia, biar sedihnya hilang

Tawarannya membuat aku tergiur,

Kalau gitu, tolong segera sihir aku yang mulia Hanan.

Dalam hitungan detik Hanan memelukku, sangat erat, sesekali mencium pucuk kepala ku. Pelukan Hanan tidak mampu aku tolak, ciumannya adalah obat penenang yang semesta ciptakan khusus untukku.

Hanan adalah sosok yang pandai menyimpan dukanya, ia hanya menunjukkan senyuman polosnya yang ampuh sekali menipu semua orang. Terkadang aku marah sekali pada sang bentala, mengapa Hanan selalu saja diberi penderitaan yang bertubi-tubi.

Hanan, kalau sakit jangan disimpan sendiri. Aku juga pengen ngerasain.”

Gak apa apa, aku baik.”

Hanan, kamu tau kan kalau aku sayang kamu?

Hanan menganggukan kepalanya, wajahnya dihiasi banyak sekali memar dan luka,

Terus, kenapa kamu gak mau berbagi sama aku?

Lagi-lagi Hanan hanya tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut.

Hanan adalah sosok yang misterius, aku tidak diperbolehkan mengetahui tentang dirinya yang sedang kesusahan melawan semesta. Hanan yang ingin hidup orang lain senang, namun membiarkan hidupnya sendiri tercerai-berai.

Senyumnya tidak pernah luntur, entah harus bagaimana aku harus melunturkan senyuman itu karena di baliknya pasti ada sesuatu yang sedang hancur.

Tidak butuh banyak 'karena' untuk mencintai sosok Hanan, Karena lelaki ini adalah sumber dari cinta itu sendiri. Hanan yang ini, milikku.

Ibu pernah bilang, kalau Hanan adalah hadiah dari semesta untukku. Dan aku membenarkan hal itu.

Anala, aku sayang kamu. Ini hadiah dari aku, diterima ya? maaf gak aku kasih langsung. Jangan nangis, jelek!

Catatan terakhir dari Hanan, dengan kotak hitam di sampingnya. Warna hitam, warna yang dibenci Hanan.

Hadiah itu, hadiah yang dimaksud Hanan untukku saat itu adalah awal dari dimulainya kehidupan ku yang penuh dengan jeritan duka.

Saat itu, aku benar-benar mengutuk semesta yang berani sekali merenggut segalanya dari genggaman ku. Semuanya seakan tergoncang, segalanya kacau-balau.

Aku kembali menekan tuts piano, mencoba menyalurkan seluruh perasaan yang masih sama seperti terakhir kali Hanan ada disini, Hanan selalu memainkan piano dengan penuh sukacita.

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya... “

Nanti kalau aku gak ada.. kamu.. yang mainin.. pianonya.. “

Anala, main piano untuk aku ya..”

Bayang-bayang itu, ucapan-ucapan Hanan membuatku hilang kendali. Aku berteriak sekencang mungkin. Sakit, sakit sekali, tubuh ini rasanya seperti kehilangan setengah nyawanya.

Anala, aku sayang kamu..”

Anala, i love you..”

Anala, terimakasih..”

Anala.. ...aku pergi dulu ya.”

Tidak, ini semakin menjadi-jadi. Hanan, seharusnya tidak seperti ini. Sakit sekali, sesak sekali rasanya. Harus sekencang apalagi aku berteriak, suara-suara itu dan rasa sakit ini terus menghujami ku tanpa ampun. Entah sudah berapa banyak benda yang aku lempar kesana-kemari.

Anala! nak, ini Ibu nak!

Ibu menepuk pipi kanan dan kiri ku berulang kali, tapi sesak di dadaku tak kunjung hilang. Aku tidak bisa mengendalikannya, ini terlalu menyiksa.

Dengan cepat Ibu menyuapiku dengan obat-obatan yang biasa aku konsumsi setiap harinya, obat-obatan yang aku konsumsi setelah kepergian Hanan hari itu.

“Anala, jangan suka melamun. Sudah setahun An, Ikhlaskan Hanan. Dia pasti gak suka lihat kamu seperti ini..” Ibu memelukku sangat erat setelah kesakitan ini mereda.

Ucapan Ibu berhasil membuatku makin terisak, isakan yang terdengar menyedihkan.

Sang bentala pasti sedang menertawakan ku saat ini, Anala yang dulu dibahagiakan oleh pujaan hatinya sekarang tengah meringkuk lemah tak berdaya. Hanan, maaf aku tidak bisa menepati janji untuk selalu berbahagia.

Hanan, rasa sakit ini terus-menerus menghantui ku. Hanan, kenapa kamu kejam sekali, kenapa kamu pergi tanpa se-izin ku. Hanan, aku masih belum mampu, aku tidak cukup mampu untuk menghilangkan bayang-bayang kehadiranmu di sini. Kamu memberi ku kebahagiaan sekaligus kesedihan yang tidak akan pernah bisa aku hadapi.

Hanan, sesak sekali. Aku sangat merindukanmu sampai rasanya ingin mati.

Hanan dan kisah kasih di atas piano.

Malam itu alam semesta sedang mencurahkan seluruh isi hatinya, kota Jakarta seperti sedang ikut kehilangan setengah jiwanya. Aku masih bisa mencium bau hujan di luar sana, setitik air hujan seperti menjadi melodi yang paling indah untuk menghiasi keheningan yang membelenggu.

Setahun sudah, waktu banyak sekali mencuri segalanya dariku. Semuanya berjalan seperti ini, seperti seharusnya.

Piano yang terletak di sudut ruangan ini pun masih sama, masih sama indahnya. Hanya saja, sang pianis tidak lagi disini.

Laki-laki itu—Hananta, yang biasa aku olok-olok hanya karena namanya yang hampir mirip dengan nama perempuan, “Hananta, namamu jelek. Kayak cewek.”

Hanan tidak pernah sekalipun tersinggung. Kekasih ku, Hanan, selalu punya banyak sekali cara untuk menyenangkan hati ku.

Hanan suka sekali dengan piano, ia suka sekali dengan dunia musik. Namun sayangnya, dunia tidak selalu berpihak padanya. Ibu dan ayah Hanan menentang keras akan hal itu.

Hanan, aku suka deh kalau kamu main piano.”

Kalau kamu suka, aku akan terus main piano buat kamu.”

Selanjutnya, detik itu juga, aku mendeklarasikan bahwa piano di sudut ruangan ini adalah hak paten milik Hanan. Hanya Hanan yang boleh memainkannya, tentunya untukku.

Aku memandangi piano yang mulai berdebu, sudah setahun piano itu kehilangan pianis khususnya. Sedikit berubah, piano itu terlihat muram di ujung sana. Aku tidak bisa lagi menemukan kebahagiaan pada piano itu, yang terlihat hanya warna-warna kesedihan.

Aku mencoba menekan tuts piano ini, “Hanan, ini mainnya gimana sih? begini? terus harus tekan yang mana lagi?

Aku mulai menduduki kursi yang dulunya adalah tempat kebesaran Hanan,

Kok bisa nyambung melodinya? kamu tekan yang mana aja?

Bayangan Hanan yang menuntun jemari ku di atas tuts piano ini kembali terputar, tangan Hanan yang lembut membuatku enggan untuk melepaskannya.

Hanan, piano ini akan jadi saksi tentang bagaimana kita berdua saling mencintai, ya?

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Emangnya kamu mau kemana? kamu aja yang mainin pianonya, aku gak bisa main piano.”

Setelah kalimat terakhir yang aku lontarkan, Hanan hanya tersenyum. Senyumnya selalu menjadi pemandangan favoritku ketika kami bertemu, kehadiran Hanan adalah anugerah pemberian semesta yang paling aku syukuri.

Seketika, ruangan ini seperti ramai sekali dengan gelak tawa Hanan. Bayangan Hanan yang tengah berakting menjadi penyanyi di gedung besar seperti muncul begitu saja di depan ku, Hanan yang sedang kebingungan mencari charger nya, Hanan yang tengah mengomel karena aku tidak sengaja menghilangkan hoodie nya, dan Hanan yang tengah memelukku dengan erat saat ini.

Ya Tuhan, pelukannya sangat nyata. Hangat sekali, wangi lelaki itu seperti memaksa masuk ke dalam indra penciuman ku. Pelukan ini, aku yakin ini adalah Hanan, Hanan-ku. Hanan, aku sedih.

Hanan, aku lagi sedih. Kamu tau gak, tadinya aku harus presentasi. Aku udah siapin ini dari lama, tau-tau dosennya gak hadir!

Hanan hanya menatap ku dengan lekat, lalu garis bibirnya terbentuk,

Aku punya mantra rahasia, biar sedihnya hilang

Tawarannya membuat aku tergiur,

Kalau gitu, tolong segera sihir aku yang mulia Hanan.

Dalam hitungan detik Hanan memelukku, sangat erat, sesekali mencium pucuk kepala ku. Pelukan Hanan tidak mampu aku tolak, ciumannya adalah obat penenang yang semesta ciptakan khusus untukku.

Hanan adalah sosok yang pandai menyimpan dukanya, ia hanya menunjukkan senyuman polosnya yang ampuh sekali menipu semua orang. Terkadang aku marah sekali pada sang bentala, mengapa Hanan selalu saja diberi penderitaan yang bertubi-tubi.

Hanan, kalau sakit jangan disimpan sendiri. Aku juga pengen ngerasain.”

Gak apa apa, aku baik.”

Hanan, kamu tau kan kalau aku sayang kamu?

Hanan menganggukan kepalanya, wajahnya dihiasi banyak sekali memar dan luka,

Terus, kenapa kamu gak mau berbagi sama aku?

Lagi-lagi Hanan hanya tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut.

Hanan adalah sosok yang misterius, aku tidak diperbolehkan mengetahui tentang dirinya yang sedang kesusahan melawan semesta. Hanan yang ingin hidup orang lain senang, namun membiarkan hidupnya sendiri tercerai-berai.

Senyumnya tidak pernah luntur, entah harus bagaimana aku harus melunturkan senyuman itu karena di baliknya pasti ada sesuatu yang sedang hancur.

Tidak butuh banyak 'karena' untuk mencintai sosok Hanan, Karena lelaki ini adalah sumber dari cinta itu sendiri. Hanan yang ini, milikku.

Ibu pernah bilang, kalau Hanan adalah hadiah dari semesta untukku. Dan aku membenarkan hal itu.

Anala, aku sayang kamu. Ini hadiah dari aku, diterima ya? maaf gak aku kasih langsung. Jangan nangis, jelek!

Catatan terakhir dari Hanan, dengan kotak hitam di sampingnya. Warna hitam, warna yang dibenci Hanan.

Hadiah itu, hadiah yang dimaksud Hanan untukku saat itu adalah awal dari dimulainya kehidupan ku yang penuh dengan jeritan duka.

Saat itu, aku benar-benar mengutuk semesta yang berani sekali merenggut segalanya dari genggaman ku. Semuanya seakan tergoncang, segalanya kacau-balau.

Aku kembali menekan tuts piano, mencoba menyalurkan seluruh perasaan yang masih sama seperti terakhir kali Hanan ada disini, Hanan selalu memainkan piano dengan penuh sukacita.

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya... “

Nanti kalau aku gak ada.. kamu.. yang mainin.. pianonya.. “

Anala, main piano untuk aku ya..”

Bayang-bayang itu, ucapan-ucapan Hanan membuatku hilang kendali. Aku berteriak sekencang mungkin. Sakit, sakit sekali, tubuh ini rasanya seperti kehilangan setengah nyawanya. Aku berteriak sekencang mungkin agar rasa sakit ini segera menghilang.

Anala, aku sayang kamu..”

Anala, i love you..”

Anala, terimakasih..”

Anala.. ...aku pergi dulu ya.”

Tidak, ini semakin menjadi-jadi. Hanan, seharusnya tidak seperti ini. Sakit sekali, sesak sekali rasanya. Harus sekencang apalagi aku berteriak, suara-suara itu dan rasa sakit ini terus menghujami ku tanpa ampun. Entah sudah berapa banyak benda yang aku lempar kesana-kemari.

Anala! nak, ini Ibu nak!

Ibu menepuk pipi kanan dan kiri ku berulang kali, tapi sesak di dadaku tak kunjung hilang. Aku tidak bisa mengendalikannya, ini terlalu menyiksa.

Dengan cepat Ibu menyuapiku dengan obat-obatan yang biasa aku konsumsi setiap harinya, obat-obatan yang aku konsumsi setelah kepergian Hanan hari itu.

“Anala, jangan suka melamun. Sudah setahun An, Ikhlaskan Hanan. Dia pasti gak suka lihat kamu seperti ini..” Ibu memelukku sangat erat setelah kesakitan ini mereda.

Ucapan Ibu berhasil membuatku makin terisak, isakan yang terdengar menyedihkan.

Sang bentala pasti sedang menertawakan ku saat ini, Anala yang dulu dibahagiakan oleh pujaan hatinya sekarang tengah meringkuk lemah tak berdaya. Hanan, maaf aku tidak bisa menepati janji untuk selalu berbahagia.

Hanan, rasa sakit ini terus-menerus menghantui ku. Hanan, kenapa kamu kejam sekali, kenapa kamu pergi tanpa se-izin ku. Hanan, aku masih belum mampu, aku tidak cukup mampu untuk menghilangkan bayang-bayang kehadiranmu di sini. Kamu memberi ku kebahagiaan sekaligus kesedihan yang tidak akan pernah bisa aku hadapi.

Hanan, sesak sekali. Aku sangat merindukanmu sampai rasanya ingin mati.

Hanan dan kisah kasih di atas piano.

Malam itu alam semesta sedang mencurahkan seluruh isi hatinya, kota Jakarta seperti sedang ikut kehilangan setengah jiwanya. Aku masih bisa mencium bau hujan di luar sana, setitik air hujan seperti menjadi melodi yang paling indah untuk menghiasi keheningan yang membelenggu.

Setahun sudah, waktu banyak sekali mencuri segalanya dariku. Semuanya berjalan seperti ini, seperti seharusnya.

Piano yang terletak di sudut ruangan ini pun masih sama, masih sama indahnya. Hanya saja, sang pianis tidak lagi disini.

Laki-laki itu—Hananta, yang biasa aku olok-olok hanya karena namanya yang hampir mirip dengan nama perempuan, “Hananta, namamu jelek. Kayak cewek.”

Hanan tidak pernah sekalipun tersinggung. Kekasih ku, Hanan, selalu punya banyak sekali cara untuk menyenangkan hati ku.

Hanan suka sekali dengan piano, ia suka sekali dengan dunia musik. Namun sayangnya, dunia tidak selalu berpihak padanya. Ibu dan ayah Hanan menentang keras akan hal itu.

Hanan, aku suka deh kalau kamu main piano.”

Kalau kamu suka, aku akan terus main piano buat kamu.” Selanjutnya, detik itu juga, aku mendeklarasikan bahwa piano di sudut ruangan ini adalah hak paten milik Hanan. Hanya Hanan yang boleh memainkannya, tentunya untukku.

Aku memandangi piano yang mulai berdebu, sudah setahun piano itu kehilangan pianis khususnya. Sedikit berubah, piano itu terlihat muram di ujung sana. Aku tidak bisa lagi menemukan kebahagiaan pada piano itu, yang terlihat hanya warna-warna kesedihan.

Aku mencoba menekan tuts piano ini, “Hanan, ini mainnya gimana sih? begini? terus harus tekan yang mana lagi?

Aku mulai menduduki kursi yang dulunya adalah tempat kebesaran Hanan,

Kok bisa nyambung melodinya? kamu tekan yang mana aja?

Bayangan Hanan yang menuntun jemari ku di atas tuts piano ini kembali terputar, tangan Hanan yang lembut membuatku enggan untuk melepaskannya.

Hanan, piano ini akan jadi saksi tentang bagaimana kita berdua saling mencintai, ya?

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Emangnya kamu mau kemana? kamu aja yang mainin pianonya, aku gak bisa main piano.”

Setelah kalimat terakhir yang aku lontarkan, Hanan hanya tersenyum. Senyumnya selalu menjadi pemandangan favoritku ketika kami bertemu, kehadiran Hanan adalah anugerah pemberian semesta yang paling aku syukuri.

Seketika, ruangan ini seperti ramai sekali dengan gelak tawa Hanan. Bayangan Hanan yang tengah berakting menjadi penyanyi di gedung besar seperti muncul begitu saja di depan ku, Hanan yang sedang kebingungan mencari charger nya, Hanan yang tengah mengomel karena aku tidak sengaja menghilangkan hoodie nya, dan Hanan yang tengah memelukku dengan erat saat ini.

Ya Tuhan, pelukannya sangat nyata. Hangat sekali, wangi lelaki itu seperti memaksa masuk ke dalam indra penciuman ku. Pelukan ini, aku yakin ini adalah Hanan, Hanan-ku. Hanan, aku sedih.

Hanan, aku lagi sedih. Kamu tau gak, tadinya aku harus presentasi. Aku udah siapin ini dari lama, tau-tau dosennya gak hadir!

Hanan hanya menatap ku dengan lekat, lalu garis bibirnya terbentuk,

Aku punya mantra rahasia, biar sedihnya hilang

Tawarannya membuat aku tergiur,

Kalau gitu, tolong segera sihir aku yang mulia Hanan.

Dalam hitungan detik Hanan memelukku, sangat erat, sesekali mencium pucuk kepala ku. Pelukan Hanan tidak mampu aku tolak, ciumannya adalah obat penenang yang semesta ciptakan khusus untukku.

Hanan adalah sosok yang pandai menyimpan dukanya, ia hanya menunjukkan senyuman polosnya yang ampuh sekali menipu semua orang. Terkadang aku marah sekali pada sang bentala, mengapa Hanan selalu saja diberi penderitaan yang bertubi-tubi.

Hanan, kalau sakit jangan disimpan sendiri. Aku juga pengen ngerasain.”

Gak apa apa, aku baik.”

Hanan, kamu tau kan kalau aku sayang kamu?

Hanan menganggukan kepalanya, wajahnya dihiasi banyak sekali memar dan luka,

Terus, kenapa kamu gak mau berbagi sama aku?

Lagi-lagi Hanan hanya tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut.

Hanan adalah sosok yang misterius, aku tidak diperbolehkan mengetahui tentang dirinya yang sedang kesusahan melawan semesta. Hanan yang ingin hidup orang lain senang, namun membiarkan hidupnya sendiri tercerai-berai.

Senyumnya tidak pernah luntur, entah harus bagaimana aku harus melunturkan senyuman itu karena di baliknya pasti ada sesuatu yang sedang hancur.

Tidak butuh banyak 'karena' untuk mencintai sosok Hanan, Karena lelaki ini adalah sumber dari cinta itu sendiri. Hanan yang ini, milikku.

Ibu pernah bilang, kalau Hanan adalah hadiah dari semesta untukku. Dan aku membenarkan hal itu.

Anala, aku sayang kamu. Ini hadiah dari aku, diterima ya? maaf gak aku kasih langsung. Jangan nangis, jelek!

Catatan terakhir dari Hanan, dengan kotak hitam di sampingnya. Warna hitam, warna yang dibenci Hanan.

Hadiah itu, hadiah yang dimaksud Hanan untukku saat itu adalah awal dari dimulainya kehidupan ku yang penuh dengan jeritan duka.

Saat itu, aku benar-benar mengutuk semesta yang berani sekali merenggut segalanya dari genggaman ku. Semuanya seakan tergoncang, segalanya kacau-balau.

Aku kembali menekan tuts piano, mencoba menyalurkan seluruh perasaan yang masih sama seperti terakhir kali Hanan ada disini, Hanan selalu memainkan piano dengan penuh sukacita.

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya... “

Nanti kalau aku gak ada.. kamu.. yang mainin.. pianonya.. “

Anala, main piano untuk aku ya..”

Bayang-bayang itu, ucapan-ucapan Hanan membuatku hilang kendali. Aku berteriak sekencang mungkin. Sakit, sakit sekali, tubuh ini rasanya seperti kehilangan setengah nyawanya. Aku berteriak sekencang mungkin agar rasa sakit ini segera menghilang.

Anala, aku sayang kamu..”

Anala, i love you..”

Anala, terimakasih..”

Anala.. ...aku pergi dulu ya.”

Tidak, ini semakin menjadi-jadi. Hanan, seharusnya tidak seperti ini. Sakit sekali, sesak sekali rasanya. Harus sekencang apalagi aku berteriak, suara-suara itu dan rasa sakit ini terus menghujami ku tanpa ampun. Entah sudah berapa banyak benda yang aku lempar kesana-kemari.

Anala! nak, ini Ibu nak!

Ibu menepuk pipi kanan dan kiri ku berulang kali, tapi sesak di dadaku tak kunjung hilang. Aku tidak bisa mengendalikannya, ini terlalu menyiksa.

Dengan cepat Ibu menyuapiku dengan obat-obatan yang biasa aku konsumsi setiap harinya, obat-obatan yang aku konsumsi setelah kepergian Hanan hari itu.

“Anala, jangan suka melamun. Sudah setahun An, Ikhlaskan Hanan. Dia pasti gak suka lihat kamu seperti ini..” Ibu memelukku sangat erat setelah kesakitan ini mereda.

Ucapan Ibu berhasil membuatku makin terisak, isakan yang terdengar menyedihkan.

Sang bentala pasti sedang menertawakan ku saat ini, Anala yang dulu dibahagiakan oleh pujaan hatinya sekarang tengah meringkuk lemah tak berdaya. Hanan, maaf aku tidak bisa menepati janji untuk selalu berbahagia.

Hanan, rasa sakit ini terus-menerus menghantui ku. Hanan, kenapa kamu kejam sekali, kenapa kamu pergi tanpa se-izin ku. Hanan, aku masih belum mampu, aku tidak cukup mampu untuk menghilangkan bayang-bayang kehadiranmu di sini. Kamu memberi ku kebahagiaan sekaligus kesedihan yang tidak akan pernah bisa aku hadapi.

Hanan, sesak sekali. Aku sangat merindukanmu sampai rasanya ingin mati.

Hanan dan kisah kasih di atas piano.

Malam itu alam semesta sedang mencurahkan seluruh isi hatinya, kota Jakarta seperti sedang ikut kehilangan setengah jiwanya. Aku masih bisa mencium bau hujan di luar sana, setitik air hujan seperti menjadi melodi yang paling indah untuk menghiasi keheningan yang membelenggu.

Setahun sudah, waktu banyak sekali mencuri segalanya dariku. Semuanya berjalan seperti ini, seperti seharusnya.

Piano yang terletak di sudut ruangan ini pun masih sama, masih sama indahnya. Hanya saja, sang pianis tidak lagi disini.

Laki-laki itu—Hananta, yang biasa aku olok-olok hanya karena namanya yang hampir mirip dengan nama perempuan, “Hananta, namamu jelek. Kayak cewek.”

Hanan tidak pernah sekalipun tersinggung. Kekasih ku, Hanan, selalu punya banyak sekali cara untuk menyenangkan hati ku.

Hanan suka sekali dengan piano, ia suka sekali dengan dunia musik. Namun sayangnya, dunia tidak selalu berpihak padanya. Ibu dan ayah Hanan menentang keras akan hal itu.

Hanan, aku suka deh kalau kamu main piano.”

Kalau kamu suka, aku akan terus main piano buat kamu.”

Selanjutnya, detik itu juga, aku mendeklarasikan bahwa piano di sudut ruangan ini adalah hak paten milik Hanan. Hanya Hanan yang boleh memainkannya, tentunya untukku.

Aku memandangi piano yang mulai berdebu, sudah setahun piano itu kehilangan pianis khususnya. Sedikit berubah, piano itu terlihat muram di ujung sana. Aku tidak bisa lagi menemukan kebahagiaan pada piano itu, yang terlihat hanya warna-warna kesedihan.

Aku mencoba menekan tuts piano ini, “Hanan, ini mainnya gimana sih? begini? terus harus tekan yang mana lagi?

Aku mulai menduduki kursi yang dulunya adalah tempat kebesaran Hanan,

Kok bisa nyambung melodinya? kamu tekan yang mana aja?

Bayangan Hanan yang menuntun jemari ku di atas tuts piano ini kembali terputar, tangan Hanan yang lembut membuatku enggan untuk melepaskannya.

Hanan, piano ini akan jadi saksi tentang bagaimana kita berdua saling mencintai, ya?

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Emangnya kamu mau kemana? kamu aja yang mainin pianonya, aku gak bisa main piano.”

Setelah kalimat terakhir yang aku lontarkan, Hanan hanya tersenyum. Senyumnya selalu menjadi pemandangan favoritku ketika kami bertemu, kehadiran Hanan adalah anugerah pemberian semesta yang paling aku syukuri.

Seketika, ruangan ini seperti ramai sekali dengan gelak tawa Hanan. Bayangan Hanan yang tengah berakting menjadi penyanyi di gedung besar seperti muncul begitu saja di depan ku, Hanan yang sedang kebingungan mencari charger nya, Hanan yang tengah mengomel karena aku tidak sengaja menghilangkan hoodie nya, dan Hanan yang tengah memeluknya dengan erat saat ini.

Ya Tuhan, pelukannya sangat nyata. Hangat sekali, wangi lelaki itu seperti memaksa masuk ke dalam indra penciuman ku. Pelukan ini, aku yakin ini adalah Hanan, Hanan-ku. Hanan, aku sedih.

Hanan, aku lagi sedih. Kamu tau gak, tadinya aku harus presentasi. Aku udah siapin ini dari lama, tau-tau dosennya gak hadir!

Hanan hanya menatap ku dengan lekat, lalu garis bibirnya terbentuk.

Aku punya hadiah untuk kamu, biar sedihnya hilang.”

Tawarannya membuat aku tergiur.

Mana mana! aku butuh hadiah.”

Dalam hitungan detik Hanan memelukku, sangat erat, sesekali mencium pucuk kepala ku. Pelukan Hanan tidak mampu aku tolak, ciumannya adalah obat penenang yang semesta ciptakan khusus untukku.

Hanan adalah sosok yang pandai menyimpan dukanya, ia hanya menunjukkan senyuman polosnya yang ampuh sekali menipu semua orang. Terkadang aku marah sekali pada dunia, mengapa Hanan selalu saja diberi penderitaan yang bertubi-tubi.

Hanan, kalau sakit jangan disimpan sendiri. Aku juga pengen ngerasain.”

Gak apa apa, aku baik.”

Hanan, kamu tau kan kalau aku sayang kamu?

Hanan menganggukan kepalanya, wajahnya dihiasi banyak sekali memar dan luka.

Terus kenapa kamu gak mau berbagi sama aku?

Lagi-lagi Hanan hanya tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut.

Hanan adalah sosok yang misterius, aku tidak diperbolehkan mengetahui tentang dirinya yang sedang kesusahan melawan semesta. Hanan yang ingin hidup orang lain senang, Namun membiarkan hidupnya sendiri selalu berantakan.

Senyumnya tidak pernah luntur, entah harus bagaimana aku harus melunturkan senyuman itu karena di baliknya pasti ada sesuatu yang sedang hancur.

Tidak butuh banyak 'karena' untuk mencintai sosok Hanan, Karena lelaki ini adalah sumber dari cinta itu sendiri. Hanan yang ini, milikku.

Ibu pernah bilang, kalau Hanan adalah hadiah dari semesta untukku. Dan aku membenarkan hal itu.

Anala, aku sayang kamu. Aku ada hadiah untuk kamu, maaf gak aku kasih langsung. Jangan nangis!

Catatan terakhir dari Hanan, dengan kotak hitam di sampingnya. Warna hitam, warna yang dibenci Hanan.

Hadiah itu, hadiah yang dimaksud Hanan untukku saat itu adalah dimulainya kehidupan ku yang penuh dengan jeritan duka.

Saat itu, aku benar-benar mengutuk semesta yang berani sekali merenggut segalanya dari genggaman ku. Semuanya seakan tergoncang, segalanya kacau-balau.

Aku kembali menekan tuts piano, mencoba menyalurkan seluruh perasaan yang masih sama seperti terakhir kali Hanan ada disini, Hanan selalu memainkan piano dengan penuh sukacita.

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya... “

Nanti kalau aku gak ada.. kamu.. yang mainin.. pianonya.. “

Anala, main piano untuk aku ya..”

Aku berteriak sangat kencang, bayang-bayang itu, ucapan-ucapan Hanan membuatku hilang kendali. Sakit, sakit sekali, tubuh ini rasanya seperti kehilangan setengah jiwanya. Aku berteriak sekencang mungkin agar rasa sakit ini segera menghilang.

Anala, aku sayang kamu..”

Anala, i love you..”

Anala, terimakasih..”

Anala.. ...aku pergi dulu ya

Tidak, ini semakin menjadi-jadi. Hanan, seharusnya tidak seperti ini. Sakit sekali, sesak sekali rasanya. Harus sekencang apalagi aku berteriak, suara-suara itu dan rasa sakit ini terus menghujami ku tanpa ampun. Entah sudah berapa banyak benda yang sudah aku lempar kesana-kemari.

“Anala! nak, ini Ibu nak!”

Ibu menepuk pipi kanan dan kiri ku berulang kali, tapi sesak di dadaku tak kunjung hilang. Aku tidak bisa mengendalikannya, ini terlalu menyiksa.

Dengan cepat Ibu menyuapiku dengan obat-obatan yang biasa aku konsumsi setiap harinya, obat-obatan yang aku konsumsi setelah kepergian Hanan hari itu.

“Anala, jangan suka melamun. Sudah setahun An, Ikhlaskan Hanan. Dia pasti gak suka lihat kamu seperti ini..” Ibu memelukku sangat erat setelah kesakitan ini mereda.

Ucapan Ibu berhasil membuatku makin terisak, isakan yang terdengar menyedihkan.

Hanan, aku harus bagaimana. Aku berantakan, rasa sakit ini terus-menerus menghantui ku. Hanan, kenapa kamu kejam sekali, kenapa kamu pergi tanpa se-izin ku. Hanan aku masih belum mampu, aku tidak cukup mampu untuk menghilangkan kehadiranmu di sini. Kamu memberi ku kebahagiaan sekaligus kesedihan yang tidak akan pernah bisa aku hadapi.

Hanan, sesak sekali. Aku sangat merindukanmu sampai rasanya ingin mati.

Piano.

Malam itu alam semesta sedang mencurahkan seluruh isi hatinya, kota Jakarta seperti sedang ikut kehilangan setengah jiwanya. Aku masih bisa mencium bau hujan di luar sana, setitik air hujan seperti menjadi melodi yang paling indah untuk menghiasi keheningan yang membelenggu.

Setahun sudah, waktu banyak sekali mencuri segalanya dariku. Semuanya berjalan seperti ini, seperti seharusnya.

Piano yang terletak di sudut ruangan ini pun masih sama, masih sama indahnya. Hanya saja, sang pianis tidak lagi disini.

Laki-laki itu—Hananta, yang biasa aku olok-olok hanya karena namanya yang hampir mirip dengan nama perempuan, “Hananta, namamu jelek. Kayak cewek.”

Hanan tidak pernah sekalipun tersinggung. Kekasih ku, Hanan, selalu punya banyak sekali cara untuk menyenangkan hati ku.

Hanan suka sekali dengan piano, ia suka sekali dengan dunia musik. Namun sayangnya, dunia tidak selalu berpihak padanya. Ibu dan ayah Hanan menentang keras akan hal itu.

Hanan, aku suka deh kalau kamu main piano.”

Kalau kamu suka, aku akan terus main piano buat kamu.”

Selanjutnya, detik itu juga, aku mendeklarasikan bahwa piano di sudut ruangan ini adalah hak paten milik Hanan. Hanya Hanan yang boleh memainkannya, tentunya untukku.

Aku memandangi piano yang mulai berdebu, sudah setahun piano itu kehilangan pianis khususnya. Sedikit berubah, piano itu terlihat muram di ujung sana. Aku tidak bisa lagi menemukan kebahagiaan pada piano itu, yang terlihat hanya warna-warna kesedihan.

Aku mencoba menekan tuts piano ini, “Hanan, ini mainnya gimana sih? begini? terus harus tekan yang mana lagi?

Aku mulai menduduki kursi yang dulunya adalah tempat kebesaran Hanan,

Kok bisa nyambung melodinya? kamu tekan yang mana aja?

Bayangan Hanan yang menuntun jemari ku di atas tuts piano ini kembali terputar, tangan Hanan yang lembut membuatku enggan untuk melepaskannya.

Hanan, piano ini akan jadi saksi tentang bagaimana kita berdua saling mencintai, ya?

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Emangnya kamu mau kemana? kamu aja yang mainin pianonya, aku gak bisa main piano.”

Setelah kalimat terakhir yang aku lontarkan, Hanan hanya tersenyum. Senyumnya selalu menjadi pemandangan favoritku ketika kami bertemu, kehadiran Hanan adalah anugerah pemberian semesta yang paling aku syukuri.

Seketika, ruangan ini seperti ramai sekali dengan gelak tawa Hanan. Bayangan Hanan yang tengah berakting menjadi penyanyi di gedung besar seperti muncul begitu saja di depan ku, Hanan yang sedang kebingungan mencari charger nya, Hanan yang tengah mengomel karena aku tidak sengaja menghilangkan hoodie nya, dan Hanan yang tengah memeluknya dengan erat saat ini.

Ya Tuhan, pelukannya sangat nyata. Hangat sekali, wangi lelaki itu seperti memaksa masuk ke dalam indra penciuman ku. Pelukan ini, aku yakin ini adalah Hanan, Hanan-ku. Hanan, aku sedih.

Hanan, aku lagi sedih. Kamu tau gak, tadinya aku harus presentasi. Aku udah siapin ini dari lama, tau-tau dosennya gak hadir!

Hanan hanya menatap ku dengan lekat, lalu garis bibirnya terbentuk.

Aku punya hadiah untuk kamu, biar sedihnya hilang.”

Tawarannya membuat aku tergiur.

Mana mana! aku butuh hadiah.”

Dalam hitungan detik Hanan memelukku, sangat erat, sesekali mencium pucuk kepala ku. Pelukan Hanan tidak mampu aku tolak, ciumannya adalah obat penenang yang semesta ciptakan khusus untukku.

Hanan adalah sosok yang pandai menyimpan dukanya, ia hanya menunjukkan senyuman polosnya yang ampuh sekali menipu semua orang. Terkadang aku marah sekali pada dunia, mengapa Hanan selalu saja diberi penderitaan yang bertubi-tubi.

Hanan, kalau sakit jangan disimpan sendiri. Aku juga pengen ngerasain.”

Gak apa apa, aku baik.”

Hanan, kamu tau kan kalau aku sayang kamu?

Hanan menganggukan kepalanya, wajahnya dihiasi banyak sekali memar dan luka.

Terus kenapa kamu gak mau berbagi sama aku?

Lagi-lagi Hanan hanya tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut.

Hanan adalah sosok yang misterius, aku tidak diperbolehkan mengetahui tentang dirinya yang sedang kesusahan melawan semesta. Hanan yang ingin hidup orang lain senang, Namun membiarkan hidupnya sendiri selalu berantakan.

Senyumnya tidak pernah luntur, entah harus bagaimana aku harus melunturkan senyuman itu karena di baliknya pasti ada sesuatu yang sedang hancur.

Tidak butuh banyak 'karena' untuk mencintai sosok Hanan, Karena lelaki ini adalah sumber dari cinta itu sendiri. Hanan yang ini, milikku.

Ibu pernah bilang, kalau Hanan adalah hadiah dari semesta untukku. Dan aku membenarkan hal itu.

Anala, aku sayang kamu. Aku ada hadiah untuk kamu, maaf gak aku kasih langsung. Jangan nangis!

Catatan terakhir dari Hanan, dengan kotak hitam di sampingnya. Warna hitam, warna yang dibenci Hanan.

Hadiah itu, hadiah yang dimaksud Hanan untukku saat itu adalah dimulainya kehidupan ku yang penuh dengan jeritan duka.

Saat itu, aku benar-benar mengutuk semesta yang berani sekali merenggut segalanya dari genggaman ku. Semuanya seakan tergoncang, segalanya kacau-balau.

Aku kembali menekan tuts piano, mencoba menyalurkan seluruh perasaan yang masih sama seperti terakhir kali Hanan ada disini, Hanan selalu memainkan piano dengan penuh sukacita.

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya... “

Nanti kalau aku gak ada.. kamu.. yang mainin.. pianonya.. “

Anala, main piano untuk aku ya..”

Aku berteriak sangat kencang, bayang-bayang itu, ucapan-ucapan Hanan membuatku hilang kendali. Sakit, sakit sekali, tubuh ini rasanya seperti kehilangan setengah jiwanya. Aku berteriak sekencang mungkin agar rasa sakit ini segera menghilang.

Anala, aku sayang kamu..”

Anala, i love you..”

Anala, terimakasih..”

Anala.. ...aku pergi dulu ya

Tidak, ini semakin menjadi-jadi. Hanan, seharusnya tidak seperti ini. Sakit sekali, sesak sekali rasanya. Harus sekencang apalagi aku berteriak, suara-suara itu dan rasa sakit ini terus menghujami ku tanpa ampun. Entah sudah berapa banyak benda yang sudah aku lempar kesana-kemari.

“Anala! nak, ini Ibu nak!”

Ibu menepuk pipi kanan dan kiri ku berulang kali, tapi sesak di dadaku tak kunjung hilang. Aku tidak bisa mengendalikannya, ini terlalu menyiksa.

Dengan cepat Ibu menyuapiku dengan obat-obatan yang biasa aku konsumsi setiap harinya, obat-obatan yang aku konsumsi setelah kepergian Hanan hari itu.

“Anala, jangan suka melamun. Sudah setahun An, Ikhlaskan Hanan. Dia pasti gak suka lihat kamu seperti ini..” Ibu memelukku sangat erat setelah kesakitan ini mereda.

Ucapan Ibu berhasil membuatku makin terisak, isakan yang terdengar menyedihkan.

Hanan, aku harus bagaimana. Aku berantakan, rasa sakit ini terus-menerus menghantui ku. Hanan, kenapa kamu kejam sekali, kenapa kamu pergi tanpa se-izin ku. Hanan aku masih belum mampu, aku tidak cukup mampu untuk menghilangkan kehadiranmu di sini. Kamu memberi ku kebahagiaan sekaligus kesedihan yang tidak akan pernah bisa aku hadapi.

Hanan, sesak sekali. Aku sangat merindukanmu sampai rasanya ingin mati.

Piano.

Malam itu alam semesta sedang mencurahkan seluruh isi hatinya, kota Jakarta seperti sedang ikut kehilangan setengah jiwanya. Aku masih bisa mencium bau hujan di luar sana, setitik air hujan seperti menjadi melodi yang paling indah untuk menghiasi keheningan yang membelenggu.

Setahun sudah, waktu banyak sekali mencuri segalanya dariku. Semuanya berjalan seperti ini, seperti seharusnya.

Piano yang terletak di sudut ruangan ini pun masih sama, masih sama indahnya. Hanya saja, sang pianis tidak lagi disini.

Laki-laki itu—Hananta, yang biasa aku olok-olok hanya karena namanya yang hampir mirip dengan nama perempuan, “Hananta, namamu jelek. Kayak cewek.”

Hanan tidak pernah sekalipun tersinggung. Kekasih ku, Hanan, selalu punya banyak sekali cara untuk menyenangkan hati ku.

Hanan suka sekali dengan piano, ia suka sekali dengan dunia musik. Namun sayangnya, dunia tidak selalu berpihak padanya. Ibu dan ayah Hanan menentang keras akan hal itu.

Hanan, aku suka deh kalau kamu main piano.”

Kalau kamu suka, aku akan terus main piano buat kamu.”

Selanjutnya, detik itu juga, aku mendeklarasikan bahwa piano di sudut ruangan ini adalah hak paten milik Hanan. Hanya Hanan yang boleh memainkannya, tentunya untukku.

Aku memandangi piano yang mulai berdebu, sudah setahun piano itu kehilangan pianis khususnya. Sedikit berubah, piano itu terlihat muram di ujung sana. Aku tidak bisa lagi menemukan kebahagiaan pada piano itu, yang terlihat hanya warna-warna kesedihan.

Aku mencoba menekan tuts piano ini, “Hanan, ini mainnya gimana sih? begini? terus harus tekan yang mana lagi?

Aku mulai menduduki kursi yang dulunya adalah tempat kebesaran Hanan,

Kok bisa nyambung melodinya? kamu tekan yang mana aja?

Bayangan Hanan yang menuntun jemari ku di atas tuts piano ini kembali terputar, tangan Hanan yang lembut membuatku enggan untuk melepaskannya.

Hanan, piano ini akan jadi saksi tentang bagaimana kita berdua saling mencintai, ya?

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Emangnya kamu mau kemana? kamu aja yang mainin pianonya, aku gak bisa main piano.”

Setelah kalimat terakhir yang aku lontarkan, Hanan hanya tersenyum. Senyumnya selalu menjadi pemandangan favoritku ketika kami bertemu, kehadiran Hanan adalah anugerah pemberian semesta yang paling aku syukuri.

Seketika, ruangan ini seperti ramai sekali dengan gelak tawa Hanan. Bayangan Hanan yang tengah berakting menjadi penyanyi di gedung besar seperti muncul begitu saja di depan ku, Hanan yang sedang kebingungan mencari charger nya, Hanan yang tengah mengomel karena aku tidak sengaja menghilangkan hoodie nya, dan Hanan yang tengah memeluknya dengan erat saat ini.

Ya Tuhan, pelukannya sangat nyata. Hangat sekali, wangi lelaki itu seperti memaksa masuk ke dalam indra penciuman ku. Pelukan ini, aku yakin ini adalah Hanan, Hanan-ku. Hanan, aku sedih.

Hanan, aku lagi sedih. Kamu tau gak, tadinya aku harus presentasi. Aku udah siapin ini dari lama, tau-tau dosennya gak hadir!

Hanan hanya menatap ku dengan lekat, lalu garis bibirnya terbentuk.

Aku punya hadiah untuk kamu, biar sedihnya hilang.”

Tawarannya membuat aku tergiur.

Mana mana! aku butuh hadiah.”

Dalam hitungan detik Hanan memelukku, sangat erat, sesekali mencium pucuk kepala ku. Pelukan Hanan tidak mampu aku tolak, ciumannya adalah obat penenang yang semesta ciptakan khusus untukku.

Hanan adalah sosok yang pandai menyimpan dukanya, ia hanya menunjukkan senyuman polosnya yang ampuh sekali menipu semua orang. Terkadang aku marah sekali pada dunia, mengapa Hanan selalu saja diberi penderitaan yang bertubi-tubi.

Hanan, kalau sakit jangan disimpan sendiri. Aku juga pengen ngerasain.”

Gak apa apa, aku baik.”

Hanan, kamu tau kan kalau aku sayang kamu?

Hanan menganggukan kepalanya, wajahnya dihiasi banyak sekali memar dan luka.

Terus kenapa kamu gak mau berbagi sama aku?

Lagi-lagi Hanan hanya tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut.

Hanan adalah sosok yang misterius, aku tidak diperbolehkan mengetahui tentang dirinya yang sedang kesusahan melawan semesta. Hanan yang ingin hidup orang lain senang, Namun membiarkan hidupnya sendiri selalu berantakan.

Senyumnya tidak pernah luntur, entah harus bagaimana aku harus melunturkan senyuman itu karena di baliknya pasti ada sesuatu yang sedang hancur.

Tidak butuh banyak 'karena' untuk mencintai sosok Hanan, Karena lelaki ini adalah sumber dari cinta itu sendiri. Hanan yang ini, milikku.

Ibu pernah bilang, kalau Hanan adalah hadiah dari semesta untukku. Dan aku membenarkan hal itu.

Anala, aku sayang kamu. Aku ada hadiah untuk kamu, maaf gak aku kasih langsung. Jangan nangis!

Catatan terakhir dari Hanan, dengan kotak hitam di sampingnya. Warna hitam, warna yang dibenci Hanan.

Hadiah itu, hadiah yang dimaksud Hanan untukku saat itu adalah dimulainya kehidupan ku yang penuh dengan jeritan duka.

Saat itu, aku benar-benar mengutuk semesta yang berani sekali merenggut segalanya dari genggaman ku. Semuanya seakan tergoncang, segalanya kacau-balau.

Aku kembali menekan tuts piano, mencoba menyalurkan seluruh perasaan yang masih sama seperti terakhir kali Hanan ada disini, Hanan selalu memainkan piano dengan penuh sukacita.

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya... “

Nanti kalau aku gak ada.. kamu.. yang mainin.. pianonya.. “

Anala, main piano untuk aku ya..”

Aku berteriak sangat kencang, bayang-bayang itu, ucapan-ucapan hanan membuatku hilang kendali. Sakit, sakit sekali, tubuh ini rasanya seperti kehilangan setengah jiwanya. Aku berteriak sekencang mungkin agar rasa sakit ini segera menghilang.

Anala, aku sayang kamu..”

Anala, i love you..”

Anala, terimakasih..”

Anala.. ...aku pergi dulu ya

Tidak, ini semakin menjadi-jadi. Hanan, seharusnya tidak seperti ini. Sakit sekali, sesak sekali rasanya. Harus sekencang apalagi aku berteriak, suara-suara itu dan rasa sakit ini terus menghujami ku tanpa ampun. Entah sudah berapa banyak benda yang sudah aku lempar kesana-kemari.

“Anala! nak, ini Ibu nak!”

Ibu menepuk pipi kanan dan kiri ku berulang kali, tapi sesak di dadaku tak kunjung hilang. Aku tidak bisa mengendalikannya, ini terlalu menyiksa.

Dengan cepat Ibu menyuapiku dengan obat-obatan yang biasa aku konsumsi setiap harinya, obat-obatan yang aku konsumsi setelah kepergian Hanan hari itu.

“Anala, jangan suka melamun. Sudah setahun An, Ikhlaskan Hanan. Dia pasti gak suka lihat kamu seperti ini..” Ibu memelukku sangat erat setelah kesakitan ini mereda.

Ucapan Ibu berhasil membuatku makin terisak, isakan yang terdengar menyedihkan.

Hanan, aku harus bagaimana. Aku berantakan, rasa sakit ini terus-menerus menghantui ku. Hanan, kenapa kamu kejam sekali, kenapa kamu pergi tanpa se-izin ku. Hanan aku masih belum mampu, aku tidak cukup mampu untuk menghilangkan kehadiranmu di sini. Kamu memberi ku kebahagiaan sekaligus kesedihan yang tidak akan pernah bisa aku hadapi.

Hanan, sesak sekali. Aku sangat merindukanmu sampai rasanya ingin mati.