Kumpul.
“Waduh, kayaknya udah dari seabad yang lalu nih nunggunya,” suara seseorang mengagetkan seorang gadis di pojok cafe ini.
Fina mendelik, ia sudah menunggu 30 menit. Ya walaupun tidak seberapa tetapi ia tidak suka menunggu.
“Gak usah rusuh, diem, duduk. Udah telat gak usah sok keren,” Fina mengalihkan pandangannya pada ponselnya.
“Galak amat,” celetuk Jenan, tangannya mengambil kentang goreng milik Fina.
“Rivan kemana?” tanya Gian, pasalnya tadi si bungsu kedua itu sudah berada di belakangnya tetapi sekarang sudah hilang entah kemana.
“Jemput Marko.” saut Fina.
“15 menit, lo berdua masih umroh dulu?” tanya Fina pada dua orang di depannya, Marko dan Rivan.
“Bang Marko masih buang hajat.”
“Jorok.”
Kegiatan sehari-hari mereka selalu seperti ini, pulang dari kampus pasti akan menyempatkan waktunya untuk berkumpul sambil menikmati makanan-makanan—yang kalau kata Dion, 'ini cafe pake jampi-jampi gak sih? kok bisa nikmat begini?'
Biasanya segala hal dibicarakan, dimulai dari kisah masa lalu dan rencana yang akan dilakukan di masa depan.
Kali ini Jenan mengangkat topik tentang masa lalu mereka ketika menginjak bangku SMP kelas 2, Saat itu Fina belum bergabung dengan mereka. Ia baru bergabung ketika kelas 10 SMA, tepatnya ketika Fina tak sengaja membuat ketujuh temannya itu terpeleset saat ia dihukum mengepel koridor sekolah.
“Eh tapi lo inget gak sih? yang waktu Dion ketar-ketir soalnya dipilih buat jadi panitia event,” tawanya tertahan ketika melihat Dion yang tengah menatapnya tajam.
“Lah iya, untung ketuplak nya si Marko.” – Juna
“Tapi kasian Marko deh, anak buahnya kayak lo semua. Pasti gak becus,” ejek Fani, sedari tadi ia hanya menyimak cerita teman-temannya.
“Bener sih, selesai event gua langsung demam.” – Marko
“Alay, demam doang.” – Rivan
“Tau tuh, gua yang tipes biasa aja ini” – Gian
Event sekolah mereka dulu cukup menarik, dengan Marko yang menjadi ketuplak dan keenam temannya yang ternyata juga menjadi panitia acara.
Tidak ada yang salah pada acara itu, semua berjalan lancar. Dulu, mereka membanggakan diri atas keberhasilannya.
Namun, tidak dengan seseorang yang ternyata belum selesai dengan kisah masa lalunya yang begitu buruk. Ia tak senang, sangat tidak suka dengan percakapan ini.
'Event sekolah bahkan jadi kenangan paling buruk yang pernah ada buat gua, bisa-bisanya lo masih bisa bersikap biasa aja'