writejelin

Status kotor.

Setelah 9 jam perjalanan akhirnya keduanya sampai di tempat kediaman Adit, tepatnya di kota Malang.

Dikarenakan musim penghujan kota tempat tinggal Adit ini memang sedang dingin-dinginnya, untung saja ia mengingatkan Syania untuk membawa beberapa pakaian hangat.

“Assalamualaikum, Adit pulang,” sahutnya ketika memasuki rumah bernuansa klasik itu.

Rumah Adit banyak sekali dihiasi beberapa gambar kaligrafi dan bacaan-bacaan ayat suci Al-Qur'an, Adit bilang Ayahnya sangat pandai membaca Al-Qur'an dan membuat beberapa kaligrafi.

“Waalaikumsalam, wah udah dateng..” “Anak mama makin ganteng aja nih,” ibu Aditya terlihat sangat senang kala melihat anak satu-satunya itu sudah sampai di rumah dengan selamat.

“Hahaha mama, jangan gitu dong. Malu nih sama Syania,” tunjuknya pada perempuan di belakangnya yang sedang menggendong seorang gadis kecil.

Ibunya terkekeh, melihat seseorang di belakangnya yang terlihat sedikit canggung. “Siapa ini kok cantik sekali? calon istri yang suka di sebut-sebut Adit itu ya?”

Syania tertawa pelan, sungguh ia tak menyangka jika Ibu Adit akan sangat baik padanya.

“Hahaha tante, saya Syania,” ia menyalami ibu Adit.

Ia tersenyum, lalu melirik si kecil yang berada di gendongan Syania.

“Ah.. yang ini namanya Achi, anak saya tante hehe.”

Ibu Adit mengangguk lalu mengusap pucuk kepala Achi dengan sayang. “Lucu banget namanya Achi.”

“Ma, ayah mana?” tanya Adit, rasanya ia ingin sesegera mungkin untuk berbicara dan mengenalkan Syania pada ayahnya itu.

Ia ingin mencegah kesalahpahaman yang ayahnya itu pikirkan.

“Ada, lagi bersihin toilet kayaknya tadi,” “Bentar ya, mama panggilin. Kalian duduk dulu, pasti capek.”

Ibu Aditya beranjak pergi, kini rasa cemas kembali menghantui perasaan keduanya. Menghadapi ibu Adit yang super baik itu sudah selesai, kini bagaimana dengan ayahnya?

Tanpa ia sadari seseorang menduduki sofa empuk di depannya, mimik wajahnya tegas sekali, pandangannya sungguh mampu menusuk siapapun yang menatapnya.

“Ayah..” “Adit pulang.”

“Iya.” jawabnya singkat.

Aditya kembali memutar otak untuk menghadapi ayahnya ini.

“Ayah, ini Syania. Perempuan yang Adit maksud,” “Dan juga perempuan yang ingin Adit nikahi,” jelasnya.

Ayah Adit menatap Syania dengan lekat, menelisik ke setiap inci tubuhnya. Lalu pandangannya terhenti ketika menatap anak kecil yang sedang ia dekap.

“Anak itu, anak siapa?” tanyanya pada keduanya.

“Ayah, Syania ini sudah kehilangan suaminya sejak dia hamil Achi,” tunjuk Adit pada Achi. “Jadi dia yang menghidupi Achi sendirian selama ini.”

“Kamu janda anak satu?”

Ucapan ayah Adit begitu tiba-tiba, Syania terkejut dengan pertanyaan itu. Memang sebutan 'janda' bukanlah sesuatu yang buruk baginya, ia sadar bawa julukan itu memang pantas orang-orang berikan untuknya.

Namun mendengar lelaki paruh baya yang berstatus ayah Adit ini menyebutnya seperti itu membuat perasaannya sedikit tersakiti.

Dengan pelan ia menganggukkan kepalanya. “Iya om,” tidak lupa dengan senyuman yang masih terukir di wajahnya.

“Ayah, Adit ingin melamar Syania,” “Mama dan ayah merestu—”

“Aditya,” “Mendingan kamu istirahat sekarang, ayah ada urusan lain.”

Kalimatnya barusan menjadi akhir dari obrolan mereka kali ini. Ayah Aditya beranjak dari duduknya, tatapannya masih sama dinginnya seperti sebelumnya.

“Adit, Syania. Maafin ayah ya? dia emang suka begitu,” “Nanti biar mama yang bujuk ayah buat obrolin ini lagi. Adit dan Syania jangan khawatir, restu mama selalu menyertai kalian berdua,” “Sekarang istirahat dulu, Achi biar sama mama aja.”

Tidak ada yang membuka suara setelah ibu Adit dan Achi pergi, keduanya masih sama-sama berusaha mencerna segalanya yang sudah terjadi.

Niat dua insan ini sangat suci, tapi mengapa jalan yang harus dilalui harus sangat begitu menyakitkan?

'Jadi janda emang sekotor itu ya di mata orang-orang?'

Ardanu, namanya Aditya.

Keduanya sudah sampai di pemakaman umum yang terletak di tengah-tengah kota. Tepatnya di tempat peristirahatan terakhir suami pertamanya itu.

Hiruk-pikuk jalanan masih terdengar hingga ke dalam pemakaman, dedaunan yang layu jatuh diterpa angin menjadi penghias di kala itu. Kini suasana begitu sunyi, hanya ada suara langkah kaki dari keduanya.

Tidak ada yang berani membuka suara, Syania seperti dipaksa membuka memori lamanya ketika melihat gundukan tanah yang berada di bawah pohon yang cukup rindang.

“Assalamualaikum Ardan, ini Syania..” ucapnya pelan ketika sampai di depan nisan yang bertuliskan 'Satria Ardanu'

Ia mengusap nisan itu, memandanginya penuh rindu.

“Maaf ya aku udah lama banget gak jenguk kamu,” “Achi sekarang udah besar Ar, matanya sama persis kayak punya kamu,”

Syania bercerita panjang lebar di sana, meluapkan rasa rindunya untuk terakhir kalinya.

Sementara di sisi lain, Aditya dengan senang hati memandangi perempuan itu dengan tatapan yang begitu lembut.

Adit sadar, tidak ada air mata yang hadir di mata Syania. Tidak ada raut wajah kesedihan di sana, Syania sudah benar-benar berhasil untuk menerima takdir semesta. Betapa kuatnya wanita ini, batin Adit terketuk.

“Ardan, sebentar lagi aku mau menikah. Achi mau punya Ayah baru,” “Ijinin aku untuk ganti posisi kamu, ya?”

Kalimatnya terhenti, tangannya kembali mengusap nisan milik Ardanu.

“Ar, di hadapan aku ini.. namanya Aditya,”

Syania menatap Adit yang kini berada di hadapannya, tersenyum lalu mengangguk pelan.

“Ardanu, terimakasih sudah bersedia menjaga Syania sampai akhir. Terimakasih karena sudah menjadi sumber kebahagiaan untuk pujaan hati saya meskipun sebentar, kamu benar-benar anugerah bagi mereka berdua,” “Sekarang, Achi dan Syania akan menjadi tanggung jawab saya sampai akhir hayat hidup saya.”

Ucapannya benar-benar nyata, Aditya tidak pernah main-main. Tekadnya untuk memulai semuanya bersama Syania sudah menjadi niatnya sejak awal. Bahkan jika ditanyakan seribu kali pun, Syania akan menjadi tujuan akhirnya.

Saat itu, dengan disaksikan oleh Tuhan dan semesta. Di depan nisan putih nan kumuh ini, bersama niatnya yang begitu suci, ada jiwa yang ikut berbahagia.

Kini, Ardanu sedang tersenyum gembira melihat keduanya.

Ardanu, namanya Aditya.

Keduanya sudah sampai di pemakaman umum yang terletak di tengah-tengah kota. Tepatnya di tempat peristirahatan terakhir mantan suaminya itu.

Hiruk-pikuk jalanan masih terdengar hingga ke dalam pemakaman, dedaunan yang layu jatuh diterpa angin menjadi penghias di kala itu. Kini suasana begitu sunyi, hanya ada suara langkah kaki dari keduanya.

Tidak ada yang berani membuka suara, Syania seperti dipaksa membuka memori lamanya ketika melihat gundukan tanah yang berada di bawah pohon yang cukup rindang.

“Assalamualaikum Ardan, ini Syania..” ucapnya pelan ketika sampai di depan nisan yang bertuliskan 'Satria Ardanu'

Ia mengusap nisan itu, memandanginya penuh rindu.

“Maaf ya aku udah lama banget gak jenguk kamu,” “Achi sekarang udah besar Ar, matanya sama persis kayak punya kamu,”

Syania bercerita panjang lebar di sana, meluapkan rasa rindunya untuk terakhir kalinya.

Sementara di sisi lain, Aditya dengan senang hati memandangi perempuan itu dengan tatapan yang begitu lembut.

Adit sadar, tidak ada air mata yang hadir di mata Syania. Tidak ada raut wajah kesedihan di sana, Syania sudah benar-benar berhasil untuk menerima takdir semesta. Betapa kuatnya wanita ini, batin Adit terketuk.

“Ardan, sebentar lagi aku mau menikah. Achi mau punya Ayah baru,” “Ijinin aku untuk ganti posisi kamu, ya?”

Kalimatnya terhenti, tangannya kembali mengusap nisan milik Ardanu.

“Ar, di hadapan aku ini.. namanya Aditya,”

Syania menatap Adit yang kini berada di hadapannya, tersenyum lalu mengangguk pelan.

“Ardanu, terimakasih sudah bersedia menjaga Syania sampai akhir. Terimakasih karena sudah menjadi sumber kebahagiaan untuk pujaan hati saya meskipun sebentar, kamu benar-benar anugerah bagi mereka berdua,” “Sekarang, Achi dan Syania akan menjadi tanggung jawab saya sampai akhir hayat hidup saya.”

Ucapannya benar-benar nyata, Aditya tidak pernah main-main. Tekadnya untuk memulai semuanya bersama Syania sudah menjadi niatnya sejak awal. Bahkan jika ditanyakan seribu kali pun, Syania akan menjadi tujuan akhirnya.

Saat itu, dengan disaksikan oleh Tuhan dan semesta. Di depan nisan putih nan kumuh ini, bersama niatnya yang begitu suci, ada jiwa yang ikut berbahagia.

Kini, Ardanu sedang tersenyum gembira melihat keduanya.

Akan datang sebagai kebahagiaan.

“Maaf, udah lama ya?” ucap Syania hati-hati, ia berusaha setenang mungkin di depan Adit.

Insiden lima menit yang lalu masih membuatnya kewalahan menghadapi lelaki ini, sikap bos nya itu sangat tidak biasa dan tiba-tiba.

“Enggak,” “Achi gak ikut?” katanya tanpa menolehkan kepalanya, ia mulai mengemudikan mobilnya.

“Enggak, dibawa Mama barusan,” ucap Syania, ia berusaha bersikap biasa saja saat ini.

Suasana antar keduanya terlihat canggung sekali, hiruk-pikuk jalanan menjadi pengisi keheningan di dalam mobil.

Tingkah Adit akhir-akhir ini memang membuat Syania sedikit kaget dan tentunya ia tidak terbiasa, namun mau tidak mau ia harus menyesuaikan diri.

“Kalau kamu gak nyaman, bilang aja gapapa Syan,” celetuk Adit, ia melirik seseorang di sampingnya sebentar lalu tersenyum hangat.

Senyuman yang sepertinya sudah menjadi favorit si perempuan.

“Bukan gak nyaman sih, cuma belum terbiasa aja hehe. Maaf,”

“Saya terlalu nuntut kamu ya?” tanyanya tiba-tiba. Pandangannya masih terfokus pada kemudinya.

Tidak ada kalimat yang aneh pada perkataan Adit barusan, tetapi penggunaan kata 'saya' kembali digunakan dan ia pikir hal ini memang serius dan pasti membuat lelaki itu cukup terganggu.

“Enggak kok, serius deh enggak,” “Cuma belum terbiasa aja,”

“Gapapa Syan, gak usah dipaksa,” “Saya mau menikahi kamu bukan untuk kebahagiaan saya aja, tapi saya juga bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kenyamanan kamu. Jadi, kalau kamu gak suka, bilang gak suka. Biar saya perbaiki.”

Kalimatnya barusan benar-benar membuat Syania merasa bersalah, ia sama sekali tidak terganggu dengan kebiasaan baru ini. Hanya saja, sesuatu yang baru tidak mudah untuk ia kenali saat ini.

Adit memang sosok yang sudah mengenali Syania cukup jauh. Sementara Syania, ia tidak cukup handal untuk mengenali orang baru yang ingin masuk ke dalam hidupnya. Sekalipun ia menyukai lelaki ini.

“Adit..” “Aku memang belum terbiasa, aku memang sulit untuk menyesuaikan diri. Sekalipun aku suka sama kamu..” “Tapi aku tahu, kamu akan jadi Ayahnya Achi sekaligus imam aku. Jadi, tolong tuntun aku ya?”

Adit menolehkan kepalanya, terkejut dengan ucapan Syania. Ia pikir sikapnya selama ini membuatnya tidak nyaman, namun siapa sangka jika Syania menawarkan diri untuk berjalan bersamanya. Untuk mengenali hal baru bersama-sama, untuk masa depan keduanya.

Adit mengangguk, tersenyum hangat, mengusap pucuk kepala sang pujaan hati.

Ia tahu betul bagaimana Syania sejak dulu sampai saat ini, tidak ada yang berubah sedikitpun. Hal itulah yang membuatnya semakin jatuh pada sosok ini.

“Syania, tanggal 29 Agustus..” “Tunggu aku dan keluargaku datang untuk melamar kamu, ya?”

Izinnya sedang ditunggu.

Sudah 30 menit perempuan itu berdiri di depan pintu ruangan atasannya, mengumpulkan keberanian untuk berhadapan dengan seseorang yang berhasil membuat hidupnya terombang-ambing sejauh ini.

'Ini gue boleh kabur aja gak sih..' batinnya.

Perlahan ia mengetuk pintu pintu itu dan mendorongnya pelan ketika suara Adit menyuruhnya masuk.

Syania berusaha bersikap seperti tidak apa-apa setelah insiden semalam, bos nya itu berhasil membuat dirinya takut setengah mati. Pasalnya Adit yang berstatus sebagai bos nya ini pantang sekali dengan hal-hal seperti ini.

Apalagi, ini kali pertamanya ia melihat Adit bertindak sangat tiba-tiba. Tentu saja hal itu membuat dirinya bingung sekaligus takut.

“Kenapa pak Adit? ada berkas yang harus di cek lagi ya?” “Sini deh biar saya cek,” ucap Syania berterus terang, ia ingin mengalihkan pembicaraan yang mungkin akan menjadi sensitif.

Syania terlalu malu untuk membicarakannya.

“Enggak, gak ada,” “Saya nyuruh kamu ke sini bukan buat itu,”

Deg..

Adit berdiri dari duduknya, menatap sekretarisnya dengan lekat. Ia menghampiri Syania yang saat ini sama sekali tidak bisa berkutik dengan tatapan lelaki itu. Tersenyum manis ke arahnya.

“Soal ucapan saya semalem, gimana?” kini dirinya sudah tepat berada di depan Syania.

Tinggi keduanya yang sangat berbeda membuat Syania harus mendongak untuk melihat wajah bos nya itu.

Ia mencari-cari kebohongan di sana, memastikan apakah seseorang yang berada di depannya bersungguh-sungguh atau tidak. Namun nihil, tidak ia temukan kebohongan di matanya.

“Pak Adit..” “Maaf, tapi saya dan pak Adit cuma orang asing yang kebetulan dipertemukan karena pekerjaan. Gimana bisa pak Adit tiba-tiba ajak saya untuk berumah tangga?” ucapnya.

Adit kembali menyunggingkan senyumnya setelah mendengar ucapan pujaan hatinya ini, dengan cepat ia meraih tangan Syania, menuntunnya untuk duduk.

“Sini duduk, biar saya jelasin dulu sebentar,” “Maaf ya udah bikin kamu bingung,” ucap Adit sembari mengusap pucuk kepala Syania.

Sementara yang diusap berusaha untuk menahan senyumnya. Sebenarnya, jika bisa, ia ingin sekali berteriak sekencang mungkin.

“Syania, untuk kamu memang saya cuma orang asing yang baru datang di kehidupan kamu. Tapi kamu..” “Kamu sudah lama sekali menempati hati saya,” lanjutnya, tatapannya sangat tulus dan jujur.

“Maksudnya?”

“SMA Neo, kamu lulusan SMA Neo. Begitu juga saya,” “Syania, saya sudah mencintai kamu sejak kita berdua masih di bangku SMA. Di kelas sepuluh SMA... Tiga tahun Syan,” “Tiga tahun saya mencintai kamu. Awalnya saya berniat melamar kamu ketika saya sudah cukup mampu, tapi ternyata kamu sudah menikah dengan orang lain,” Adit menatap lekat sang sekretaris, menunjukkan betapa ia sangat bersungguh-sungguh pada perkataannya.

Tidak ada yang bisa Syania katakan, ia terlalu terkejut. Ternyata seseorang yang menyandang sebagai bos nya ini adalah lelaki yang menyukainya secara diam-diam, dan juga selama tiga tahun lamanya.

“Terus kenapa pak Adit gak pernah tunjukin?”

“Saya takut kamu masih bersuami Syan,” “Saya memang mencintai kamu, tapi saya masih tau batasan.”

Ucapannya barusan berhasil membuat hatinya menghangat, entah kenapa perasaannya terhadap Adit semakin membuncah hebat.

“Gimana Syan? kamu bersedia, kan?”

Syania terdiam sebentar, menatap Adit sekilas. Perlahan ia mendekatkan dirinya pada Adit, membisikkan sesuatu di sana.

“Achi kayaknya memang butuh sosok Ayah,” “Jadi, Pak Adit. Saya tunggu kehadirannya untuk minta izin sama Mama dan Papa di rumah ya.”

Sulit dan perasaan di awang-awang.

“Eh Syan, belum pulang? katanya bareng Adit?” seseorang menghampirinya yang tengah bercakap gemas dengan Achi.

“Eh pak Bian, bentar lagi kayaknya. Pak Adit masih di dalem,” ucapnya canggung, ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Bian setelah kendala yang ia alami tadi siang.

Tidak nyaman rasanya menolak permintaan lelaki itu, namun ia juga tidak bisa melakukan apapun jika ingin selamat dari amarah bos nya.

“Lama ya? ah, tau gitu kamu pulang sama saya aja,” katanya dengan tawa kecilnya.

'Ya ampun, kenapa lo bahas lagi..'

“Hahaha gak usah deh, lagian takut ngerepotin,” jawab Syania, ia berusaha mencairkan suasana saat ini.

Entah mengapa ia dilanda perasaan gelisah ketika Bian menyinggung hal tersebut.

“Kalau Adit masih lama, telfon saya aja ya? saya masih bisa kok nganter kamu sama Achi,” “Iya kan Achi?” ucapnya pada Achi yang tengah menggenggam tangan Ibunya.

Tidak ada respon khusus dari si kecil, ia hanya melongo dan menatap bingung seseorang di depannya. Sepertinya ia belum takluk pada lelaki ini.

“Hahaha gak us—”

“Apanya yang mau di telfon?”

Kalimat Syania terhenti ketika mendengar suara seseorang yang menggema di lobi kantor, untung saja tidak banyak orang yang ada di sana karena jam pulang kantor sudah tiba sejak tadi.

Adit menghampiri ketiganya, menatap Syania dan direktur kantornya itu bergantian.

'Kenapa kayak kepergok selingkuh sih anjir..' batin Syania mengoceh.

“Apanya Bi yang harus di telfon?” tanyanya lagi.

Keduanya saling menatap satu sama lain, seperti memperebutkan sesuatu namun enggan untuk memberi tahu.

Suasana di sana semakin tidak nyaman juga terlihat canggung.

“Mmm..” suara Achi yang tiba-tiba memeluk kaki Adit berhasil meruntuhkan kecanggungan saat ini. Kepalanya yang menggemaskan mendongak seakan meminta sesuatu.

“Achi, sini dulu yuk sayang. Gak boleh ganggu orang ngomong ya,” bujuk Syania berusaha menggendong si kecil.

Namun aksinya terhenti ketika Adit tiba-tiba menggendong Achi ke dalam pelukannya, sementara si bayi hanya tertawa girang.

“Anda bisa pulang sekarang pak Bian, Syania biar saya yang antar,” “Dan juga, tidak ada yang perlu di telfon atau menelfon di sini. Paham ya?” tegasnya.

Dengan cepat ia berlalu dari hadapan Bian, menarik tangan Syania dan tentu saja Achi masih berada dalam dekapannya.

Sedangkan Bian hanya terdiam mendengar ucapan atasannya itu, sekaligus heran dengan interaksi ketiganya.


“Pak Adit..” “Maaf, tapi.. bukannya pak Adit terlalu kasar ya sama pak Bian tadi?”

Kini mereka sudah berada di dalam mobil milik Adit, bersiap untuk pergi.

Dengan Achi yang berada di pangkuannya, Syania memberanikan diri untuk bertanya sekaligus menegur sikap bos nya tadi.

“Achi, mau makan dulu gak cantik?”

Bukannya menjawab pertanyaannya, lelaki itu malah mengalihkan pembicaraannya dan memilih untuk menarik perhatian anaknya.

Adit terus membangun obrolan dengan Achi, berbicara dengan nada yang lucu dan sesekali mengelus pipi sang bocah.

Kesal sekali, Syania tidak suka dengan ini. Ia merasa bersalah dengan Bian yang entah mengapa dikecam habis-habisan oleh lelaki itu.

“Pak Adit sengaja ya ngalihin pembicaraan?”

“Enggak,” “Kita makan dulu ya, kasian Achi laper pasti,” lagi-lagi ia tidak memperdulikan ucapan sekretarisnya.

“Pak Adit, lain kali jangan begitu lagi sama pak Bian. Saya ngerasa bersalah jadinya,” ucap Syania, tidak perduli perkataannya didengar atau tida. Ia hanya ingin Adit tahu bahwa sikapnya tadi sungguh tidak baik.

“Mudah buat kamu bilang seperti ini, tapi enggak sama sekali bagi saya Syan.”

Laki-laki yang hangat.

Tok.. tok.. tok..

Syania mengetuk pintu ruangan bos besarnya, tangannya terlihat membawa secangkir teh hangat pesanan Adit.

“Permisi pak Adit,” ia memasuki ruangan itu, “ini teh hangatnya.”

Ia meletakkan teh itu di atas meja kerja Adit, melirik sebentar pada lelaki itu.

Dilihatnya wajah bos nya yang pucat, ia memejamkan matanya seperti menahan sakit. Sedikit khawatir, Syania tidak tahu harus melakukan apa.

“Pak Adit..” “Pak Adit gapapa?” tanya Syania memastikan.

Tidak ada jawaban dari sang lawan bicara, Adit tidak merespon ucapannya.

'Ya Tuhan, mukanya kayak orang sekarat gini..'

Ia membawa tangan lentiknya untuk memeriksa kening lelaki itu, memastikan kondisi bos nya saat ini.

'Astaga ini bukan demam lagi tapi udah gosong..' batinnya.

“Pak Adit, bangun dulu pak..”

Syania menepuk pipi dan pundak Adit bergantian, ia cemas sekali dengan kondisi Adit yang sama sekali tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

“Apalagi..” lirihnya pelan.

“Pak Adit coba tiduran di sofa dulu ya,” ucap Syania selembut mungkin.

“Belum minum obat ya pak?”

Adit menggeleng, sungguh ia tidak mampu berbicara banyak hal saat ini.

“Yaudah, ayo tiduran di sofa dulu ya,” ia berusaha menuntun Adit pada sofa yang terletak berseberangan dengan meja kerja Adit.

Ia meraih kotak P3K yang terletak di bawah meja, mengambil beberapa obat untuk diberikan kepada bos nya itu.

“Achi udah kamu jemput dari ruangan Bian?” ucapnya.

Syania mengernyit, bisa-bisanya di kondisinya yang seperti ini ia mampu bertanya tentang anaknya—Achi.

'Aneh..'

“Udah pak..” “Pak Adit lagi sakit, ngapain deh mikirin yang lain,” jawab Syania, matanya kembali fokus pada obat-obatan yang berada di depannya.

“Ini pak, diminum dulu,” “Nanti tidur aja dulu, kalau udah jam meeting saya bangunin.”

Ia membereskan P3K nya dan hendak beranjak pergi dari ruangan itu, Namun..

“Syan, kamu di sini aja sebentar,” Adit meraih dan menahan pergelangan tangannya.

Syania terkejut dengan gerakan tiba-tiba yang Adit lakukan, ia sedikit tak percaya dengan sikap bos nya saat ini.

Tidak banyak bicara, manja, dan permintaannya sangat tidak masuk akal.

“Di sini aja..”

Ia kembali berucap, wajahnya terlihat sayu. Tangan yang berada di pergelangan tangannya terasa hangat akibat suhu tubuhnya yang sangat tinggi.

Entah apa yang merasuki pikirannya, Syania menuruti permintaan lelaki itu, “Iya..”

Syania mendudukkan dirinya di sebelah Adit, membenarkan bantal yang ditidurinya.

Di saat seperti ini Adit terlihat sangat damai sekali dalam tidurnya, tidak ada tampang menyebalkan dan kejam.

Secara tidak langsung, perempuan yang kini berada bersama Adit di ruangan itu mengakui bahwasanya lelaki yang berstatus bos nya ini memang benar-benar tampan. Ia sungguh-sungguh mengakuinya kali ini.

'Pantes Achi suka, ternyata gini..' batinnya lagi.

Senyumnya terukir, sekarang ia tahu mengapa anaknya sangat menyukai lelaki ini.

Aditya sebenarnya adalah seseorang yang hangat.

“Cepet sembuh ya, Pak Adit..”

Untuk kamu dan Achi.

“Habis ini belok kemana?”

“Belon kanan pak, itu rumahnya,” tunjuknya pada rumah putih bernuansa klasik di depannya.

Ucapan Adit tentang dirinya yang hendak ingin bertemu Achi—anak dari sekretarisnya itu benar-benar ia lakukan.

Kini ia berdiri di depan rumah yang cukup luas dan terdapat banyak tanaman-tanaman langka di dalamnya.

“Ini rumah kamu atau mama kamu?” tanyanya sambil memandangi rumah tersebut.

“Rumah mama pak, rumah saya lain lagi,” jawabnya, “eh ayo pak adit, masuk dulu.”

Syania menuntun bos nya untuk segera masuk dan menyelesaikan urusannya di sana.


“Loh Syan, udah nyampe aja. Tadi katanya mau ngabarin,”

“Gak keburu hehe,”

“Loh ini pak Aditya ya?” ucap Ibu Syania menatap seseorang di belakang putrinya.

“Assalamualaikum tante, iya ini Aditya,” jawab Adit, ia menyalami Ibu Syania.

'Punya sopan santun juga ni orang, kirain gak ada.'

“Ganteng banget kamu hahaha,” pujinya pada Adit, “oh iya, kamar Achi di sebelah kanan. Kamu samperin aja, anaknya ngerengek terus daritadi.”

“Haha iya tante, makasih. Saya ke Achi dulu ya,”

Adit menghampiri kamar Achi di ikuti Syania di belakangnya, kamar itu terlihat sedikit berantakan akibat si kecil yang tak henti-hentinya menangis.

Ia melihat Achi yang terus-menerus merengek di atas kasur, sepertinya si kecil memang benar-benar tak begitu sehat hari ini.

“Achi, coba lihat ini siapa yang dateng,” suara Syania membuat anak itu menolehkan kepalanya sejenak.

Achi menatap seseorang yang tidak begitu jauh darinya, tak lama senyum diwajahnya terbentuk. Tawa sang buah hati perlahan menggema ke seluruh ruangan ini ketika melihat sosok Adit disana.

Syania yang melihatnya sangat terkejut, bagaimana bisa anaknya ini sangat lengket pada Adit.

“Halo anak cantik, lagi sakit ya?” perlahan Adit mendekati Achi, tersenyum padanya.

“Mananya nih yang sakit, hm?”

Ia menggendong Achi ke dalam pangkuannya, mengelus pucuk kepala serta pipi anak itu dengan sayang.

“Yah.. Dit..” tawanya serta ucapannya menjadi satu, terlihat sangat senang sepertinya.

“Achi, panggilnya om. Bukan yah ya nak,” ucap Syania dengan cepat ketika Achi mengucapkan kalimat sensitif tadi.

“Gapapa Syan, namanya anak-anak gak tau apa-apa,” bela Adit.

“Achi gak boleh rewel lagi, habis ini tidur sama bunda. Biar nanti bisa main lagi, oke ya?” “Oh atau mau tidur sama om Adit?” tawarnya pada Achi, suaranya dibuat sehalus mungkin.

Lagi-lagi si kecil tertawa gemas, tangan kecilnya ia bawa untuk menyentuh wajah Adit.

'Gimana bisa Achi senyaman ini sama Adit, padahal baru seharian ketemu...'

Syania terus memandangi keduanya, jujur saja ia memang takjub dengan Adit yang bisa membuat anaknya nyaman hanya dalam waktu satu hari. Ia juga tak menyangka dengan interaksi keduanya yang terlihat sangat dekat.

Hari itu, Adit habiskan untuk menemani Achi yang enggan untuk ditinggal olehnya. Achi benar-benar betah berlama-lama dengannya.

“Pak adit..” “Achi udah tidur, pak Adit bisa pulang sekarang,” ucap Syania pada Adit, terlihat wajahnya yang tampak kelelahan.

“Bagus deh,” jawabnya, kepalanya ia sandarkan pada sofa ruang tamu yang cukup besar.

“Makasih ya pak Adit udah mau bantu saya, kalau gak ada pak Adit gak tau deh Achi bakalan gimana,” “Maaf juga udah ngerepotin pak Adit..”

“Gapapa, kan udah saya bilang dari tadi.”

Syania mengangguk, “pak Adit mau minum gak? saya bikinin teh ya? sebentar,” ia hendak beranjak dari duduknya, namun tangan kekar Adit menahannya.

“Gak usah, kamu di sini aja,” ucapnya pelan.

Sementara sang empu hanya terdiam dan menuruti permintaan bos nya itu, ia merasa bersalah melihat gurat lelah dari paras tampan bos nya ini.

Adit sangat baik pada Achi, ia betul-betul melihat bagaimana Adit bersikap lembut pada anaknya. Hal itu membuat hatinya sedikit terketuk.

“Syan,” “Kalau kamu dan Achi butuh saya, saya akan selalu siap sedia untuk kalian berdua.”

Bersama Adit dan Achi.

“Ribet banget sih kamu?” ucapnya pada sekretaris perempuannya itu.

Pasalnya dirinya sudah daritadi berdiri di lobi kantor tetapi sekretarisnya ini tak kunjung sadar kehadirannya.

“Iya maaf pak, lagian pak Adit udah di sini kenapa gak langsung panggil saya,” katanya membela diri, tangan kanannya ia gunakan untuk menggenggam tangan Achi yang sedari tadi bingung dengan percakapan orang dewasa ini.

“Gak mood.”

'Dih? emangnya gue mood pergi sama lo begini?'

Adit melirik Achi yang menatap keduanya, tersenyum tipis lalu berjongkok mensejajarkan dirinya dengan si kecil.

“Achi mau jalan-jalan gak?”

Sang empunya nama hanya melongo, melihat seseorang di depannya lalu tersenyum girang.

“Gendong yuk, mau ya? biar gak capek,” tawar Adit pada Achi.

Dan betapa terkejutnya Syania melihat anak semata wayangnya itu tiba-tiba merentangkan tangannya kepada Adit, senyumnya merekah sempurna.

“Hahaha ayo jalan-jalan,” selanjutnya ia menggendong Achi dan mengusap pipi anak itu dengan lembut.

Sementara seseorang yang berstatus sebagai Ibunya sekarang tengah menatap keduanya dengan tatapan yang sulit ditebak, anak perempuannya sangat senang bertemu Adit sejak pertama kali. Ia tahu akan hal itu.

“Syania, kenapa ngelamun? ayo cepet,” ucapan Adit membuyarkan lamunannya.

“O-oh iya pak, ayo.”

Sepanjang perjalanan ia terus melihat interaksi Adit dan Achi, heran dengan tingkah bos nya ini.

'Ini sebenernya mau beli peralatan kantor apa mau cosplay jadi guru play group sih'

Adit dan perasaan tak berujung.

Hari itu, sekolah nampak sepi sekali. Hanya ada beberapa siswa yang mengikuti ekskul dan petugas kebersihan sekolah.

Laki-laki dengan peluh membasahi rambutnya serta Jersey yang dikenakannya tengah meneguk minumannya.

Lapangan futsal SMA Neo saat ini sudah sepi, hanya dirinya yang masih betah berdiam diri di sana.

Matanya memperhatikan tiap sudut sekolah yang sudah sepi itu, sesekali ia menyibak rambutnya yang basah akibat keringat.

Tidak ada yang menarik dari suasana sekolahnya saat itu, semua siswa pasti sudah pulang ke rumah mereka masing masing. Namun, pandangannya terhenti tiba-tiba. Matanya memperhatikan seorang perempuan yang melewati lapangan futsal.

Perempuan itu memakai seragam sekolah yang sama dengan milik Adit, parasnya juga sangat menawan. Perempuan itu, yang kini berjalan menuju toilet sekolah, adalah seseorang yang Adit—sang ketua futsal sukai.

“Mau sampai kapan sih diliatin mulu, digebet dong buruan,” tepukan pelan pada pundaknya membuat lamunannya buyar.

Adit menggeleng lalu menundukkan kepalanya, “gak usah.”

“Syania cantik Dit, siapa sih yang gak pengen pacarin dia?” ucap Arya, tangannya merebut botol minum yang Adit genggam lalu meneguknya cepat, “dari kelas 10 lo begini mulu sampai sekarang kita mau lulus.”

Sang empu hanya menghembuskan nafasnya pelan, ia tidak tahu harus berbuat apa. Memang betul rasa sayangnya pada perempuan bernama Syania itu bukan main-main dan sama sekali tidak ia sepelekan.

Namun ia tidak memiliki cukup kemampuan untuk bertindak lebih, ia merasa belum cukup untuk Syania, seperti ada yang kurang dari dirinya.


“Adit, Syania besok nikah..”

Empat kalimat itu berhasil menghantam hatinya.

Setelah bertahun-tahun ia berusaha memantapkan dirinya untuk bersanding dengan pujaan hatinya, namun ternyata semesta tak pernah benar-benar baik pada lelaki ini.

“Dit, lo gapapa kan?”

“Gapapa lah,” “Lagian kan cuma cinta monyet, bukan apa-apa.”

Bohong, ia telah berdusta pada dirinya sendiri. Fakta bahwa Syania menikah dan akan menjadi milik orang lain membuat dadanya sesak sekali.

Sangat menyakitkan, Aditya harus dipaksa mengikhlaskan.