Status kotor.
Setelah 9 jam perjalanan akhirnya keduanya sampai di tempat kediaman Adit, tepatnya di kota Malang.
Dikarenakan musim penghujan kota tempat tinggal Adit ini memang sedang dingin-dinginnya, untung saja ia mengingatkan Syania untuk membawa beberapa pakaian hangat.
“Assalamualaikum, Adit pulang,” sahutnya ketika memasuki rumah bernuansa klasik itu.
Rumah Adit banyak sekali dihiasi beberapa gambar kaligrafi dan bacaan-bacaan ayat suci Al-Qur'an, Adit bilang Ayahnya sangat pandai membaca Al-Qur'an dan membuat beberapa kaligrafi.
“Waalaikumsalam, wah udah dateng..” “Anak mama makin ganteng aja nih,” ibu Aditya terlihat sangat senang kala melihat anak satu-satunya itu sudah sampai di rumah dengan selamat.
“Hahaha mama, jangan gitu dong. Malu nih sama Syania,” tunjuknya pada perempuan di belakangnya yang sedang menggendong seorang gadis kecil.
Ibunya terkekeh, melihat seseorang di belakangnya yang terlihat sedikit canggung. “Siapa ini kok cantik sekali? calon istri yang suka di sebut-sebut Adit itu ya?”
Syania tertawa pelan, sungguh ia tak menyangka jika Ibu Adit akan sangat baik padanya.
“Hahaha tante, saya Syania,” ia menyalami ibu Adit.
Ia tersenyum, lalu melirik si kecil yang berada di gendongan Syania.
“Ah.. yang ini namanya Achi, anak saya tante hehe.”
Ibu Adit mengangguk lalu mengusap pucuk kepala Achi dengan sayang. “Lucu banget namanya Achi.”
“Ma, ayah mana?” tanya Adit, rasanya ia ingin sesegera mungkin untuk berbicara dan mengenalkan Syania pada ayahnya itu.
Ia ingin mencegah kesalahpahaman yang ayahnya itu pikirkan.
“Ada, lagi bersihin toilet kayaknya tadi,” “Bentar ya, mama panggilin. Kalian duduk dulu, pasti capek.”
Ibu Aditya beranjak pergi, kini rasa cemas kembali menghantui perasaan keduanya. Menghadapi ibu Adit yang super baik itu sudah selesai, kini bagaimana dengan ayahnya?
Tanpa ia sadari seseorang menduduki sofa empuk di depannya, mimik wajahnya tegas sekali, pandangannya sungguh mampu menusuk siapapun yang menatapnya.
“Ayah..” “Adit pulang.”
“Iya.” jawabnya singkat.
Aditya kembali memutar otak untuk menghadapi ayahnya ini.
“Ayah, ini Syania. Perempuan yang Adit maksud,” “Dan juga perempuan yang ingin Adit nikahi,” jelasnya.
Ayah Adit menatap Syania dengan lekat, menelisik ke setiap inci tubuhnya. Lalu pandangannya terhenti ketika menatap anak kecil yang sedang ia dekap.
“Anak itu, anak siapa?” tanyanya pada keduanya.
“Ayah, Syania ini sudah kehilangan suaminya sejak dia hamil Achi,” tunjuk Adit pada Achi. “Jadi dia yang menghidupi Achi sendirian selama ini.”
“Kamu janda anak satu?”
Ucapan ayah Adit begitu tiba-tiba, Syania terkejut dengan pertanyaan itu. Memang sebutan 'janda' bukanlah sesuatu yang buruk baginya, ia sadar bawa julukan itu memang pantas orang-orang berikan untuknya.
Namun mendengar lelaki paruh baya yang berstatus ayah Adit ini menyebutnya seperti itu membuat perasaannya sedikit tersakiti.
Dengan pelan ia menganggukkan kepalanya. “Iya om,” tidak lupa dengan senyuman yang masih terukir di wajahnya.
“Ayah, Adit ingin melamar Syania,” “Mama dan ayah merestu—”
“Aditya,” “Mendingan kamu istirahat sekarang, ayah ada urusan lain.”
Kalimatnya barusan menjadi akhir dari obrolan mereka kali ini. Ayah Aditya beranjak dari duduknya, tatapannya masih sama dinginnya seperti sebelumnya.
“Adit, Syania. Maafin ayah ya? dia emang suka begitu,” “Nanti biar mama yang bujuk ayah buat obrolin ini lagi. Adit dan Syania jangan khawatir, restu mama selalu menyertai kalian berdua,” “Sekarang istirahat dulu, Achi biar sama mama aja.”
Tidak ada yang membuka suara setelah ibu Adit dan Achi pergi, keduanya masih sama-sama berusaha mencerna segalanya yang sudah terjadi.
Niat dua insan ini sangat suci, tapi mengapa jalan yang harus dilalui harus sangat begitu menyakitkan?
'Jadi janda emang sekotor itu ya di mata orang-orang?'