Untuk kamu dan Achi.

“Habis ini belok kemana?”

“Belon kanan pak, itu rumahnya,” tunjuknya pada rumah putih bernuansa klasik di depannya.

Ucapan Adit tentang dirinya yang hendak ingin bertemu Achi—anak dari sekretarisnya itu benar-benar ia lakukan.

Kini ia berdiri di depan rumah yang cukup luas dan terdapat banyak tanaman-tanaman langka di dalamnya.

“Ini rumah kamu atau mama kamu?” tanyanya sambil memandangi rumah tersebut.

“Rumah mama pak, rumah saya lain lagi,” jawabnya, “eh ayo pak adit, masuk dulu.”

Syania menuntun bos nya untuk segera masuk dan menyelesaikan urusannya di sana.


“Loh Syan, udah nyampe aja. Tadi katanya mau ngabarin,”

“Gak keburu hehe,”

“Loh ini pak Aditya ya?” ucap Ibu Syania menatap seseorang di belakang putrinya.

“Assalamualaikum tante, iya ini Aditya,” jawab Adit, ia menyalami Ibu Syania.

'Punya sopan santun juga ni orang, kirain gak ada.'

“Ganteng banget kamu hahaha,” pujinya pada Adit, “oh iya, kamar Achi di sebelah kanan. Kamu samperin aja, anaknya ngerengek terus daritadi.”

“Haha iya tante, makasih. Saya ke Achi dulu ya,”

Adit menghampiri kamar Achi di ikuti Syania di belakangnya, kamar itu terlihat sedikit berantakan akibat si kecil yang tak henti-hentinya menangis.

Ia melihat Achi yang terus-menerus merengek di atas kasur, sepertinya si kecil memang benar-benar tak begitu sehat hari ini.

“Achi, coba lihat ini siapa yang dateng,” suara Syania membuat anak itu menolehkan kepalanya sejenak.

Achi menatap seseorang yang tidak begitu jauh darinya, tak lama senyum diwajahnya terbentuk. Tawa sang buah hati perlahan menggema ke seluruh ruangan ini ketika melihat sosok Adit disana.

Syania yang melihatnya sangat terkejut, bagaimana bisa anaknya ini sangat lengket pada Adit.

“Halo anak cantik, lagi sakit ya?” perlahan Adit mendekati Achi, tersenyum padanya.

“Mananya nih yang sakit, hm?”

Ia menggendong Achi ke dalam pangkuannya, mengelus pucuk kepala serta pipi anak itu dengan sayang.

“Yah.. Dit..” tawanya serta ucapannya menjadi satu, terlihat sangat senang sepertinya.

“Achi, panggilnya om. Bukan yah ya nak,” ucap Syania dengan cepat ketika Achi mengucapkan kalimat sensitif tadi.

“Gapapa Syan, namanya anak-anak gak tau apa-apa,” bela Adit.

“Achi gak boleh rewel lagi, habis ini tidur sama bunda. Biar nanti bisa main lagi, oke ya?” “Oh atau mau tidur sama om Adit?” tawarnya pada Achi, suaranya dibuat sehalus mungkin.

Lagi-lagi si kecil tertawa gemas, tangan kecilnya ia bawa untuk menyentuh wajah Adit.

'Gimana bisa Achi senyaman ini sama Adit, padahal baru seharian ketemu...'

Syania terus memandangi keduanya, jujur saja ia memang takjub dengan Adit yang bisa membuat anaknya nyaman hanya dalam waktu satu hari. Ia juga tak menyangka dengan interaksi keduanya yang terlihat sangat dekat.

Hari itu, Adit habiskan untuk menemani Achi yang enggan untuk ditinggal olehnya. Achi benar-benar betah berlama-lama dengannya.

“Pak adit..” “Achi udah tidur, pak Adit bisa pulang sekarang,” ucap Syania pada Adit, terlihat wajahnya yang tampak kelelahan.

“Bagus deh,” jawabnya, kepalanya ia sandarkan pada sofa ruang tamu yang cukup besar.

“Makasih ya pak Adit udah mau bantu saya, kalau gak ada pak Adit gak tau deh Achi bakalan gimana,” “Maaf juga udah ngerepotin pak Adit..”

“Gapapa, kan udah saya bilang dari tadi.”

Syania mengangguk, “pak Adit mau minum gak? saya bikinin teh ya? sebentar,” ia hendak beranjak dari duduknya, namun tangan kekar Adit menahannya.

“Gak usah, kamu di sini aja,” ucapnya pelan.

Sementara sang empu hanya terdiam dan menuruti permintaan bos nya itu, ia merasa bersalah melihat gurat lelah dari paras tampan bos nya ini.

Adit sangat baik pada Achi, ia betul-betul melihat bagaimana Adit bersikap lembut pada anaknya. Hal itu membuat hatinya sedikit terketuk.

“Syan,” “Kalau kamu dan Achi butuh saya, saya akan selalu siap sedia untuk kalian berdua.”