Sulit dan perasaan di awang-awang.
“Eh Syan, belum pulang? katanya bareng Adit?” seseorang menghampirinya yang tengah bercakap gemas dengan Achi.
“Eh pak Bian, bentar lagi kayaknya. Pak Adit masih di dalem,” ucapnya canggung, ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Bian setelah kendala yang ia alami tadi siang.
Tidak nyaman rasanya menolak permintaan lelaki itu, namun ia juga tidak bisa melakukan apapun jika ingin selamat dari amarah bos nya.
“Lama ya? ah, tau gitu kamu pulang sama saya aja,” katanya dengan tawa kecilnya.
'Ya ampun, kenapa lo bahas lagi..'
“Hahaha gak usah deh, lagian takut ngerepotin,” jawab Syania, ia berusaha mencairkan suasana saat ini.
Entah mengapa ia dilanda perasaan gelisah ketika Bian menyinggung hal tersebut.
“Kalau Adit masih lama, telfon saya aja ya? saya masih bisa kok nganter kamu sama Achi,” “Iya kan Achi?” ucapnya pada Achi yang tengah menggenggam tangan Ibunya.
Tidak ada respon khusus dari si kecil, ia hanya melongo dan menatap bingung seseorang di depannya. Sepertinya ia belum takluk pada lelaki ini.
“Hahaha gak us—”
“Apanya yang mau di telfon?”
Kalimat Syania terhenti ketika mendengar suara seseorang yang menggema di lobi kantor, untung saja tidak banyak orang yang ada di sana karena jam pulang kantor sudah tiba sejak tadi.
Adit menghampiri ketiganya, menatap Syania dan direktur kantornya itu bergantian.
'Kenapa kayak kepergok selingkuh sih anjir..' batin Syania mengoceh.
“Apanya Bi yang harus di telfon?” tanyanya lagi.
Keduanya saling menatap satu sama lain, seperti memperebutkan sesuatu namun enggan untuk memberi tahu.
Suasana di sana semakin tidak nyaman juga terlihat canggung.
“Mmm..” suara Achi yang tiba-tiba memeluk kaki Adit berhasil meruntuhkan kecanggungan saat ini. Kepalanya yang menggemaskan mendongak seakan meminta sesuatu.
“Achi, sini dulu yuk sayang. Gak boleh ganggu orang ngomong ya,” bujuk Syania berusaha menggendong si kecil.
Namun aksinya terhenti ketika Adit tiba-tiba menggendong Achi ke dalam pelukannya, sementara si bayi hanya tertawa girang.
“Anda bisa pulang sekarang pak Bian, Syania biar saya yang antar,” “Dan juga, tidak ada yang perlu di telfon atau menelfon di sini. Paham ya?” tegasnya.
Dengan cepat ia berlalu dari hadapan Bian, menarik tangan Syania dan tentu saja Achi masih berada dalam dekapannya.
Sedangkan Bian hanya terdiam mendengar ucapan atasannya itu, sekaligus heran dengan interaksi ketiganya.
“Pak Adit..” “Maaf, tapi.. bukannya pak Adit terlalu kasar ya sama pak Bian tadi?”
Kini mereka sudah berada di dalam mobil milik Adit, bersiap untuk pergi.
Dengan Achi yang berada di pangkuannya, Syania memberanikan diri untuk bertanya sekaligus menegur sikap bos nya tadi.
“Achi, mau makan dulu gak cantik?”
Bukannya menjawab pertanyaannya, lelaki itu malah mengalihkan pembicaraannya dan memilih untuk menarik perhatian anaknya.
Adit terus membangun obrolan dengan Achi, berbicara dengan nada yang lucu dan sesekali mengelus pipi sang bocah.
Kesal sekali, Syania tidak suka dengan ini. Ia merasa bersalah dengan Bian yang entah mengapa dikecam habis-habisan oleh lelaki itu.
“Pak Adit sengaja ya ngalihin pembicaraan?”
“Enggak,” “Kita makan dulu ya, kasian Achi laper pasti,” lagi-lagi ia tidak memperdulikan ucapan sekretarisnya.
“Pak Adit, lain kali jangan begitu lagi sama pak Bian. Saya ngerasa bersalah jadinya,” ucap Syania, tidak perduli perkataannya didengar atau tida. Ia hanya ingin Adit tahu bahwa sikapnya tadi sungguh tidak baik.
“Mudah buat kamu bilang seperti ini, tapi enggak sama sekali bagi saya Syan.”