writejelin

Monolog kesedihan.

Siang ini langit terlihat mendung, suasana kali ini suram sekali. Kepergian Aditya membawa banyak duka dari orang-orang tersayang.

Kini, Syania berdiri di dekat liang lahat milik Adit. Tatapannya kosong namun penuh kesedihan. Dilihatnya tempat peristirahatan terakhir milik lelakinya itu, bagaimana bisa kekasihnya bisa tinggal di sana, pasti rasanya tidak akan nyaman. Harusnya Aditya berada di pelukannya sekarang.

“Adit..”

Suaranya kecil sekali, berharap Aditya mendengarnya dan kembali memeluknya dengan erat.

Orang-orang itu mulai mengubur jenazah Aditya, menaburkan bunga di atasnya dan berdoa untuknya. Semua rekan kerja Syania memberinya ucapan belasungkawa, namun sayangnya hal itu tak bisa membuatnya tenang.

Syania mengusap nisan milik Aditya, orang-orang sudah pergi, hanya ada dirinya dan gundukan tanah milik kekasihnya. Ia terduduk lemah di sebelah peristirahatan terakhir Adit, kepalanya ia sandarkan pada nisan putih bersih itu.

“Kamu capek ya, Dit?” “Maafin aku..”

Lagi-lagi air mata jatuh dari pelupuk matanya, sungguh dirinya tak sanggup menghadapi ini untuk kedua kalinya. Terduduk di sebuah gundukan tanah dan menangis tersedu-sedu.

“Adit..” “Aku pengen minta sama Tuhan untuk balikin kamu dan melanjutkan cerita yang belum kita lakuin..” “Bisa gak ya, Dit?”

Syania bermonolog sendiri, mencoba menghibur dirinya sendiri, berharap Adit ada disampingnya dan kembali mencium keningnya. Hal itu biasa Adit lakukan ketika Syania bersedih.

“Adit,” “Terus habis ini aku harus ngapain lagi?” “Boleh gak aku nyusul kamu?”

Adit, dalam damai.

Syania tiba di rumah sakit yang sebelumnya sudah Arya beritahu, benar saja di sana sudah banyak sekali teman-temannya dan juga teman-teman Adit. Bahkan ibunya dan kedua orang tua Adit juga hadir di sana.

Wajah mereka satu persatu menunjukkan sesuatu yang tak bisa Syania tebak. Kesedihan dan pelupuk mata yang tergenang air mata.

“Ini pada kenapa? Adit mana?” ia baru saja menyadari bahwa lelakinya tidak ada di sana, padahal Arya bilang Aditya juga ada di tempat ini.

Semua orang terdiam, mereka bukan tak ingin menggubris pertanyaan Syania namun tak ada kalimat yang tepat untuk menjelaskan ini semua padanya.

Perlahan Ola meraih tangan Syania. “Syania..” Matanya memberi isyarat pada Syania untuk melihat ruangan apa yang mereka datangi saat ini.

'Ruang jenazah'

“Maksudnya?”

Perasaannya campur aduk, di mana Adit, mengapa semua orang tidak menjawab pertanyaannya dan malah memintanya untuk masuk ke dalam ruangan itu.

“Masuk dulu ya?” ayah Adit menuntunnya untuk masuk ke dalam ruangan jenazah.

Di sana terlihat satu lampu yang menerangi satu jenazah, beberapa perawat berdiri di sebelahnya untuk mengawasi. Syania berdiri di dekat jenazah yang ia tidak ketahui itu.

“Ini.. siapa?”

Lagi-lagi pertanyaannya bagai angin yang lewat, tidak ada yang menjawabnya. Ia melirik satu persatu perawat dan ayah Aditya, ia kebingungan.

Ada satu kemungkinan di otaknya tentang mayat di depannya ini, namun ia berkali-kali menyangkalnya, ia tidak mau menganggap itu semua benar.

Setelah melihat Ayah Adit mengangguk pada salah satu perawat, ia membuka perlahan kain yang menutupi wajah jenazah itu.

Dimulai dari rambut, Syania seperti mengenali rambut itu. Lalu kini kening, kening itu, ia tahu milik siapa kening itu. Hingga kini sang perawat membuka seluruh kain yang menutupi wajah si jenazah.

“ADITT!!!”

Syania berteriak sangat kencang, ruangan jenazah itu seakan penuh dengan suara Syania yang menggema, suara itu, suara yang begitu menyedihkan.

“ADITTT... ADITT!!” Syania meraba wajah Aditya yang kini sudah tak lagi menunjukkan tawa padanya.

Wajah itu begitu pucat, netranya sudah tak lagi menatap Syania penuh cinta seperti biasanya. Bibir itu, tadi pagi Syania sudah berkali-kali menciumnya. Pipi Aditya yang selalu ia cium setiap mereka berdua bertemu, kini sudah lenyap. Segalanya telah Aditya bawa dalam tidur damainya.

“Adit.. sayang, ini aku Syania. Sayang, ayo bangun.. ayo Adit..” “Adit.. aku nungguin kamu. Ayo kita fitting baju ya? ayo, Ola udah nungguin di luar.”

Syania memeluk jasad Aditya erat, diciumnya wajah pucat itu berkali-kali. Ia tenggelamkan kepalanya pada pundak Adit, ia menangis sejadi-jadinya hingga tidak ada siapapun yang bisa menghentikannya.

“Adit.. kamu kenapa..” “Kita mau nikah Dit.. kenapa kamu ninggalin aku..”

Ia terisak, tangisannya seakan tak bisa berhenti. Hatinya begitu sakit, Aditnya telah pergi jauh. Jauh sekali, sehingga dirinya tak bisa melihatnya lagi.

Sudah kedua kalinya Syania menerima hal seperti ini, ruangan ini mungkin sudah sangat mengenal siapa Syania dan sudah berapa kali ia menerima penderitaan yang berawal dari ruangan ini. Ruangan jenazah, tempat yang paling dibenci Syania mulai hari ini.

Dulu, Ardan juga berakhir di ruangan ini, sekarang lagi-lagi ruangan ini juga membawa Aditya ke dalamnya.

Tangisan terus terdengar tanpa henti, hal ini begitu menyakitkan untuknya. Pernikahan keduanya sudah sangat matang, banyak rencana yang sudah mereka rancang ketika berbulan madu nanti. Namun apalah daya, ternyata Tuhan membawa pulang Aditya terlebih dahulu.

“Adit..” “Kalau kamu gak ada, aku sama siapa?”

Tepat setelah kalimat terakhirnya, tubuh Syania melemah dan merosot perlahan ke lantai. Dirinya tak sadarkan diri.

Syania, terimakasih.

“Aku pulang dulu ya? nanti abis bersih-bersih aku jemput.”

Hari ini keduanya harus melakukan fitting baju, hari pernikahan sudah dekat. Beberapa yang belum dipersiapkan harus segera dipersiapkan.

Jam 9 pagi, langit masih kelabu dan hujan belum kunjung berhenti. Syania sudah mewanti-wanti Aditya untuk tidak pergi sekarang namun Aditya tetaplah Aditya, dirinya tidak mau kalah.

Ia pergi menggunakan mobil milik Syania, semalam ia pergi ke club dengan tangan kosong dan mengharuskan dirinya untuk meminjam mobil kekasihnya.

“Kamu beneran mau jalan sekarang? ini hujan gede banget loh?”

“Iya udah gapapa, daripada nanti janji sama Ola telat.”

“Yaudah, hati hati. Aku tunggu di rumah.”

Aditya mengecup kening Syania dalam, memeluknya sekali lagi lalu berlalu dari hadapan Syania dengan cepat.


Hujan turun cukup deras, sepertinya hari ini jalan raya akan terus basah karena langit sedang tidak baik-baik saja.

Musik yang terputar menemani Aditya yang sedang mengemudi, suara dari boy grup korea favorit Syania yang berjudul 'The Rainy Night' terus terputar menghiasi kesunyian yang ada.

Jalanan tampak sedikit kabur karena derasnya hujan, memang lalu lintas sedikit sepi pagi itu sehingga Aditya tanpa ragu menaikkan kecepatan mobilnya.

Ia ingin segera sampai dan kembali ke rumah Syania, terbayang-bayang olehnya pemandangan Syania yang mengenakan gaun pernikahan.

Pasti akan sangat menawan dan cantik, parasnya yang begitu menggemaskan serta senyumannya yang pasti akan terus ia tunjukkan padanya setiap bangun tidur nanti.

Syania itu perempuan favoritnya setelah ibunya sendiri, Aditya benar-benar memujanya. Ia terus membayangkan betapa beruntungnya dirinya menjadi laki-laki yang dicintai oleh Syania.

Aditya terhanyut pada lamunannya sendiri, hujan seperti membawanya untuk melupakan segalanya selain Syania.

Ia terlalu sibuk memikirkan terlalu banyak tentang pujaan hatinya. Sehingga entah bagaimana awalnya, truk besar yang sedang melaju begitu cepat di depannya tidak terlihat olehnya. Truk itu seperti sengaja mengarahkan badan mobilnya pada mobil yang dikemudikan Adit.

Dalam hitungan detik, bersamaan dengan suara guntur yang saling bersautan mobil truk itu menghantam mobil Syania dengan keras dan terseret jauh pada pepohonan yang terletak di pinggiran kota.

Naas, mobil yang Aditya kemudikan hancur berkeping-keping. Sementara sang pengemudi terpental jauh tepat di sebelah truk yang menabraknya.

Hujan terus mengguyur dirinya seakan membantu membasuh darah yang sudah mengalir dari tubuh Aditya, suara guntur seakan-akan ingin memberi tahu jika pagi ini dukanya sudah bertambah.

Aditya, tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia sangat berharap pada pernikahan itu, ia sangat ingin mengucapkan akad yang suci di depan Tuhan dan orang tua Syania.

Senyuman kekasih hatinya kembali terbayang di depan matanya, Syania yang begitu menyayanginya, serta ciuman yang ia berikan setiap harinya seolah sedang terputar jelas seperti film lama yang mungkin sudah usang.

'Aditya, aku sayang kamu..' 'Aku mau jadi istri kamu..' 'I love you, Aditya..'

Kalimat-kalimat itu, kalimat yang ia sukai. Aditya suka sekali ketika Syania mengucapkannya, Syania menyayanginya begitupun sebaliknya. Suara Syania menggema di kepalanya, tawanya hingga suara tangisannya seperti menari dengan indahnya di kepala Aditya.

Darah terus keluar dari sekujur tubuhnya, ia ingin bersuara namun raganya seperti ditusuk-tusuk oleh beribu-ribu tombak panas sehingga ia tak mampu untuk melakukan apapun.

Ia sudah tak tahan lagi, berulang kali ia berusaha untuk tetap membuka matanya.

Namun sayangnya Tuhan sudah lebih dulu menarik jiwanya.

Bersamaan dengan suara hujan dan kilat petir, Tuhan sudah membawa jiwa Aditya pergi jauh.

Syania, terimakasih.. Aku juga sayang kamu.

Aditya putra mahanta, telah merenggang nyawa di tempat kejadian.

Syania, terimakasih.

“Aku pulang dulu ya? nanti abis bersih-bersih aku jemput.”

Hari ini keduanya harus melakukan fitting baju, hari pernikahan sudah dekat. Beberapa yang belum dipersiapkan harus segera dipersiapkan.

Jam 9 pagi, langit masih kelabu dan hujan belum kunjung berhenti. Syania sudah mewanti-wanti Aditya untuk tidak pergi sekarang namun Aditya tetaplah Aditya, dirinya tidak mau kalah.

Ia pergi menggunakan mobil milik Syania, semalam ia pergi ke club dengan tangan kosong dan mengharuskan dirinya untuk meminjam mobil kekasihnya.

“Kamu beneran mau jalan sekarang? ini hujan gede banget loh?”

“Iya udah gapapa, daripada nanti janji sama Ola telat.”

“Yaudah, hati hati. Aku tunggu di rumah.”

Aditya mengecup kening Syania dalam, memeluknya sekali lagi lalu berlalu dari hadapan Syania dengan cepat.


Hujan turun cukup deras, sepertinya hari ini jalan raya akan terus basah karena langit sedang tidak baik-baik saja.

Musik yang terputar menemani Aditya yang sedang mengemudi, suara dari boy grup korea favorit Syania yang berjudul 'The Rainy Night' terus terputar menghiasi kesunyian yang ada.

Jalanan tampak sedikit kabur karena derasnya hujan, memang lalu lintas sedikit sepi pagi itu sehingga Aditya tanpa ragu menaikkan kecepatan mobilnya.

Ia ingin segera sampai dan kembali ke rumah Syania, terbayang-bayang olehnya pemandangan Syania yang mengenakan gaun pernikahan.

Pasti akan sangat menawan dan cantik, parasnya yang begitu menggemaskan serta senyumannya yang pasti akan terus ia tunjukkan padanya setiap bangun tidur nanti.

Syania itu perempuan favoritnya setelah ibunya sendiri, Aditya benar-benar memujanya. Ia terus membayangkan betapa beruntungnya dirinya menjadi laki-laki yang dicintai oleh Syania.

Aditya terhanyut pada lamunannya sendiri, hujan seperti membawanya untuk melupakan segalanya selain Syania.

Ia terlalu sibuk memikirkan terlalu banyak tentang pujaan hatinya. Sehingga entah bagaimana awalnya, truk besar yang sedang melaju begitu cepat di depannya tidak terlihat olehnya. Truk itu seperti sengaja mengarahkan badan mobilnya pada mobil yang dikemudikan Adit.

Dalam hitungan detik, bersamaan dengan suara guntur yang saling bersautan mobil truk itu menghantam mobil Syania dengan keras dan terseret jauh pada pepohonan yang terletak di pinggiran kota.

Naas, mobil yang Aditya kemudikan hancur berkeping-keping. Sementara sang pengemudi terpental jauh tepat di sebelah truk yang menabraknya.

Hujan terus mengguyur dirinya seakan membantu membasuh darah yang sudah mengalir dari tubuh Aditya, suara guntur seakan-akan ingin memberi tahu jika pagi ini dukanya sudah bertambah.

Aditya, tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia sangat berharap pada pernikahan itu, ia sangat ingin mengucapkan akad yang suci di depan Tuhan dan orang tua Syania.

Senyuman kekasih hatinya kembali terbayang di depan matanya, Syania yang begitu menyayanginya, serta ciuman yang ia berikan setiap harinya seolah sedang terputar jelas seperti film lama yang mungkin sudah usang.

'Aditya, aku sayang kamu..' 'Aku mau jadi istri kamu..' 'I love you, Aditya..'

Kalimat-kalimat itu, kalimat yang ia sukai. Aditya suka sekali ketika Syania mengucapkannya, Syania menyayanginya begitupun sebaliknya. Suara Syania menggema di kepalanya, tawanya hingga suara tangisannya seperti menari dengan indahnya di kepala Aditya.

Darah terus keluar dari sekujur tubuhnya, ia ingin bersuara namun raganya seperti ditusuk-tusuk oleh beribu-ribu tombak panas sehingga ia tak mampu untuk melakukan apapun.

Ia sudah tak tahan lagi, berulang kali ia berusaha untuk tetap membuka matanya.

Namun sayangnya Tuhan sudah lebih dulu menarik jiwanya.

Bersamaan dengan suara hujan dan kilat petir, Tuhan sudah membawa jiwa Aditya pergi jauh.

Syania, terimakasih.. Aku juga sayang kamu.

Aditya putra mahanta, merenggang nyawa di tempat kejadian.

Aku menyayangi mu.

Hujan deras masih mengguyur kota pagi ini, dari semalam tidak ada yang berubah. Langit pagi masih kelabu dan gelap, sepertinya tidak ada tanda-tanda akan munculnya matahari.

Aditya terbangun dari tidurnya, suasana yang begitu dingin menusuk kulitnya. Ia membuka matanya, rasa pusing menghujam kepalanya. Sepertinya pengaruh alkohol benar-benar membuat dirinya kehilangan kesadaran sepenuhnya.

“Loh udah bangun?”

Pandangannya bertemu dengan mata perempuan piyama kuning itu, tangannya sibuk membawa nampan yang berisi beberapa buah-buahan serta sarapan yang ia siapkan subuh tadi.

Adit menatap perempuannya penuh makna, sudah beberapa hari ini ia tidak bertemu dengan wanita itu. Syania selalu menghindar, awalnya ia kira dengan Syania yang menjaga jarak dengannya bisa membuat Citra tidak bertindak lebih. Namun siapa sangka, dirinyalah yang tak mampu menahan gejolak rindu. Aditya tidak pernah mampu diacuhkan oleh Syania, sampai kapanpun ia tak akan pernah sanggup.

Senyum tipis terpatri pada paras Syania, ia menghampiri Adit yang terduduk di atas kasur berukuran besar itu.

“Udah baikan? Gak pusing lagi?” ia mengusap pipi Aditya yang kini tengah sibuk menatap dirinya tanpa henti.

“Adit? kenapa?”

Tidak ada jawaban yang ia dapatkan atas pertanyaannya barusan, namun kini Aditya dengan cepat melesat masuk ke dalam pelukannya. Sangat erat, pelukan itu kini kembali. Pelukannya yang seakan-akan menandakan tidak ada hari esok.

“Syania, maafin aku. maaf, aku sayang kamu. Maaf, jangan diemin aku..”

“Iya.. iya aku juga minta maaf ya, gapapa Adit, aku paham,” Syania mengelus surai Adit dengan lembut.

“Aku bukannya gak mau terbuka sama kamu, tapi aku takut Citra ngapa-ngapain kamu, aku takut sayang..” “Maafin aku..”

“Iya Adit, aku gapapa. Makasih ya, harusnya aku bisa ngerti dari awal,” “Sekarang makan dulu ya? hari ini kita fitting baju kalau kamu lupa.”

Kalimatnya barusan tidak digubris oleh Adit, pelukannya pun tak kunjung terlepas.

“Adit, ayo sayang makan dulu..”

Aditya menggeleng pelan. “Mau peluk kamu, kangen..”

“Iya nanti peluk lagi, sekarang makan dulu,” pintanya pada Adit,

Tingkah Aditya pagi ini sedikit manja, sehingga membuat Syania kewalahan.

“Syania..” “Aku sayang kamu, aku juga sayang Achi. Tolong selalu bahagia untuk aku ya?” bisiknya pelan pada Syania, pelukannya masih belum terlepas. Kepalanya ia biarkan untuk bertengger nyaman di pundak perempuannya.

“Kamu ngomong apa sih?” “Udah ah ayo makan.”

Kesalahan.

Hujan turun sangat deras malam ini, guntur menghiasi langit malam. Suasana saat itu begitu kelabu bagi seorang pria berkemeja putih.

Tubuhnya terhuyung ke sana kemari, kesadarannya telah di kuasai oleh alkohol. Entah sudah berapa banyak botol yang ia teguk sehingga berhasil membuat teman-temannya turun tangan.

“Adit, anjing, ngapain sih lo,” ucap Arya pada Adit yang setengah sadar.

Tidak ada jawaban, dirinya terus meracau tidak jelas.

“Syania.. maafin aku,” “Aku minta maaf sayang.”

Suaranya begitu menyedihkan, dirinya sudah tidak berdaya. Syania adalah hidupnya, ia tak sanggup melihat Syania mengacuhkannya begitu lama.

Bahkan hari pernikahan sudah dekat tapi hubungan mereka masih seperti ini, Aditya sungguh sangat khawatir bukan main.

“Jev, anter aja dah ini ke rumah Syania,” “Gua ngeri kalau ditinggal sendiri bakalan robohin rumah.”

Jevan mengangguk, ia tahu betul bagaimana perasaan sahabat karibnya saat ini. Pasti sesuatu telah terjadi antara kedua pasangan itu. Dan komunikasi adalah satu-satunya jalan keluar.


Arya mengetuk pintu rumah bernuansa coklat itu, rumah tempat tinggal Syania dan Achi.

Tak butuh waktu lama untuk menunggu pemilik rumah membuka pintu, terlihat di sana perempuan menggunakan piyama kuning berdiri di depan pintu—piyama itu adalah hadiah dari Aditya dua minggu lalu.

Raut wajahnya terkejut, tidak, ia tidak terkejut dengan kedatangan Aditya dan teman-temannya, tapi ia terkejut ketika melihat pujaan hatinya begitu pucat dan wajahnya sangat sayu. Ia menyadari, Aditya meneguk banyak sekali alkohol malam ini.

“Loh? pak Arya, pak Jevan? i-ini kenapa?”

Hatinya sakit sekali melihat kondisi Aditya saat ini, seperti dihantam beribu-ribu panah api, pemandangan ini betul-betul menyakitinya. Ia telah menyakiti laki-laki baik seperti Aditya.

“Adit mabok, lagi kacau banget. Lo ribut sama dia?” tanya Arya berusaha memastikan.

Syania mengangguk, memang betul mereka berdua saat ini tengah mengalami perang dingin. Padahal mereka tahu, hari pernikahan tinggal 5 hari lagi. Beruntungnya, semua kebutuhan pernikahan telah disiapkan jauh-jauh hari ini.

Syania mengambil alih badan lemah tak berdaya itu, merangkulnya, lalu dengan rasa bersalah ia mengusap wajah lelakinya penuh sayang.

“Sayang..” “Maaf..” Lagi-lagi ia meracau tidak jelas, hati Syania seperti tercabik-cabik mendengar suara menyedihkan itu.

“Adit gak pernah berani minum Syan, sekacau apapun dia,” “Makanya gua dibuat heran hari ini, kenapa dia tiba-tiba minum lagi,” jelas Jevan, ia turut sedih melihat keadaan sahabatnya itu.

“Syan, gua tau lo marah karena Adit gak mau jujur, gua tau lo pasti marah,” “Karena memang menjelang pernikahan gak sepatutnya ada yang harus ditutup-tutupi pamali,” “Tapi lo harus tahu, dengan cara itu Adit ngelindungin lo dari Citra. Dia gak mau lo ikut campur karena itu bahaya Syan, gua udah bilang kan kalau Citra bukan perempuan biasa?”

Syania terdiam, yang dikatakan Arya memang benar. Aditya punya alasan kenapa ia menyembunyikan hal sebesar ini padanya, Aditya ingin melindunginya.

Lagipula ia sudah mengetahui fakta yang sebenarnya dari Arya, lalu apa yang harus ia permasalahkan sekarang?

“Maaf..”

“Yaudah, kita titip Adit ya. Omongin baik-baik. Udah mau nikah nih, gak baik diem-dieman.”

Kedua lelaki itu berlalu, tersisa Aditya dan Syania di sana. Ia menuntun Aditya untuk berbaring di kasurnya.

Ditatapnya paras tampan namun letih itu, lagi-lagi perasaan bersalah menghantui dirinya. Aditya mengorbankan segalanya untuk dirinya, ia tak kenal lelah untuk mencari perhatian perempuannya akhir-akhir ini.

Tangannya ia bawa untuk mengusap kening Aditya. Diciuminya kening, kedua matanya, hidung, pipi dan yang terakhir bibir Aditya. Syania berusaha meluapkan rasa bersalahnya, ia sangat menyayangi lelakinya ini, sungguh, ia berani bertaruh nyawa untuknya.

“Aditya, sayang, maafin aku ya?” bisiknya pada Adit.

“Syania.. Syan..” “Aku sayang kamu, jangan tinggalin aku..”

“Iya sayang, aku di sini. Ini aku,” Syania meraih tangan Adit dan meletakkannya di pipinya.

Ia memposisikan dirinya di sebelah Adit, memeluknya erat seakan tak rela lelakinya ini pergi kemanapun.

Perasaannya sungguh terasa buruk malam ini, segala kemungkinan buruk terus-menerus berputar di dalam dirinya.

“Adit, aku sayang kamu..”

Malapetaka dan kasih sayang.

Tok.. tok.. tok..

Syania membuka pintu ruangan kekasihnya perlahan, mengintip sekilas ke dalam sana. Terlihat Aditya dengan beberapa tumpukan berkas di depannya, wajahnya terlihat letih namun senyum yang terpancar untuk Syania tak pernah pudar sedikitpun.

“Kok masih banyak? katanya cuma bentar?” Syania melangkahi kakinya menghampiri lelakinya itu.

Tangannya ia bawa untuk mengusap surai lembut Aditya sementara matanya mulai menelisik berkas-berkas yang Adit kerjakan sejak tadi.

“Hmm..” “Setengahnya aku bawa pulang aja.” ucapnya pelan, kepalanya ia tenggelamkan pada perut rata Syania, mencari kenyamanan di sana.

“Mau aku bantu gak?” “Nanti biar maleman aku ke rumah kamu. Ini banyak banget soalnya, Dit” “Kontrak kerjasama yang tadi pagi gimana? kamu apain?”

“Aku tolak.”

“Loh kenapa? bukannya kamu jarang nolak kontrak kerjasama?” “Lagian ini ratingnya cukup tinggi loh?”

Aditya menarik tangan Syania pelan, membawanya untuk duduk di pangkuannya. Diciuminya paras cantik itu, dimulai dari kening hingga bibirnya.

Syania selalu menjadi sandarannya setiap kali hatinya gundah.

“Aku kan udah bilang gak mau ambil kontrak atau project apapun sampe pernikahan kita?” “Kalau urusan rating perusahaan, perusahaan aku juga gak kalah tinggi ratingnya. Jadi soal yang itu gak usah dipikirin ya?” jawabnya, kembali ia mengecup bibir manis sang kekasih penuh sayang.

Keduanya memang sudah terbiasa dengan ini, merayu satu sama lain serta ciuman menjadi wujud kasih sayang.

Syania sudah cukup terbiasa dengan ini, namun tak jarang juga ciuman dan pelukan Aditya yang sangat mendadak seperti di mobil saat itu membuatnya kewalahan mengatur detak jantungnya.

“Yaudah deh kalau gitu, aku harap kamu udah pikirin ini baik baik ya tapi jangan sampe stress juga,” ucapnya sambil ia mengelus pipi lelakinya.

Sementara sang empu menatap dalam netra Syania, hatinya kini banyak menyimpan kekhawatiran.

'Citra bukan perempuan biasa, dia bisa ngelakuin apa aja untuk dapetin apa yang dia mau. Syan, aku takut kamu jadi sasaran dia.'

Bersamaan dengan suara hatinya, ia kembali mendekap erat Syania dan menciuminya berkali-kali.

“Aku sayang kamu,” bisiknya pada telinga Syania.

“Iya, i love u too Aditya.”

Niat baik.

Suasana pagi itu begitu hangat, keluarga dari kedua calon mempelai begitu gembira menyambut hari yang suci ini.

Dekorasi di rumah Syania sangat indah, semua sangat sempurna. Siapapun pasti takjub jika melihatnya secara langsung.

Kini, berbagai hantaran dari calon mempelai pria telah diterima. Dengan senang hati mereka menyerahkan niat baik yang telah dirancang sedemikian rupa.

Aditya, hari ini begitu gagahnya berjalan di kediaman sang calon mempelai wanita. Dengan jas birunya yang tampak menawan, jantungnya berdegup kencang hingga suara riuh di dalam ruangan tidak terdengar olehnya.

Terlihat sepupu laki-laki dari Syania berdiri di depan banyaknya tamu undangan, rupanya ia yang akan menjadi pembawa acara kali ini.

“Assalamu’alaikum Wr. Wb.”

Ucapnya menyambut orang-orang itu sekaligus membuka acara kali ini.

“Puji syukur hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak nikmat kepada kita sekalian sehingga kita dapat bertemu, berkumpul dan saling silaturahmi pada hari yang berbahagia ini dalam keadaan sehat wal’afiat.” “Kami ucapkan selamat datang untuk keluarga Bapak Andi yang telah sudi mendatangi kediaman kami. Sebelum acara dimulai, ada baiknya bila kami mempersilahkan terlebih dulu agar para tamu undangan sekalian menempati tempat yang telah kami sediakan.”

Seiring berjalannya acara dan beberapa patah kata sambutan yang disampaikan oleh kedua keluarga kini sampailah mereka pada tujuan mempelai pria.

Aditya berdiri dari duduknya, berdiri di samping sang pembawa acara. Keringat dingin mengucur deras, ia sangat gugup kali ini.

Diliriknya Syania dan Achi yang duduk di antara kedua orang tuanya, ia tersenyum manis dari arah sana. Syania sedang sama gugupnya, terlihat dari wajahnya yang terlihat sedikit pucat.

“Assalamualaikum Wr. Wb.” “Yang terhormat Bapak & Ibu Santoso beserta keluarga besar saudari Syania Meera yang saya hormati, niatan pertama saya dan keluarga datang kemari adalah untuk bersilaturahmi kepada keluarga Syania Meera agar lebih dekat lagi,” “Yang kedua berbekal keyakinan dan takdir Allah SWT maksud dan tujuan kehadiran saya dan keluarga adalah untuk menyampaikan lamaran kepada Syania Meera.”

Tutur katanya ia rangkai sedemikian, degup jantungnya terus-menerus memompa dirinya.

“Dengan ini, jika Allah SWT mengijinkan, saya ingin menjadikan putri bapak dan ibu sebagai istri saya. Menemani setiap langkah perjuangan saya, menjadi penyejuk hati saya di kala gundah,” “Dan menjadi penasihat saat saya melakukan kesalahan, sekiranya bapak dan ibu menyetujui saya ingin melamar putri bapak dan ibu dan melanjutkan hubungan kami berdua ke jenjang pernikahan.”

Adit menatap keluarga Syania satu-persatu, ucapannya barusan benar-benar ia ucapkan dengan tulus. Ia mencoba menyampaikan tujuannya sebaik mungkin.

Kini ayah dari Syania berdiri dan menghampiri Aditya di depan sana, ia menepuk pundak gagah itu.

“Waalaikumsalam Wr. Wb.” “Terimakasih untuk niat baik Aditya dan keluarga yang datang kemari untuk meminang putri kami satu-satunya, “Dengan ijin Allah SWT kami selaku orang tua dari ananda Syania Meera menerima niat baik kamu, tapi keputusan terakhir kami berikan kepada putri kami.”

Bapak Santoso selaku ayah Syania mengarahkan pandangannya pada putri semata wayangnya.

Perlahan Syania meraih mic yang diberikan oleh ayahnya, ia berusaha mengontrol degup jantungnya sendiri. Tidak ingin hal-hal yang memalukan terjadi ia menampilkan senyumnya pada ayah dan Aditya yang kini sedang menatapnya.

“Assalamualaikum Wr. Wb.” “Sebelumnya saya ingin berterima kasih kepada Adit karena mencintai Syania dengan tulus ikhlas, selalu berhasil membuat Syania tenang dan senang,” “Syania menghargai niat suci Adit yang datang kemari untuk melamar Syania di depan kedua orang tua Syania,” ucapnya, ia menghentikan kalimatnya sejenak, berusaha merangkai kata-kata yang tepat.

“Bismillahirrahmanirrahim,” “Maka dari itu, Syania menerima lamaran Aditya.”

Kalimat terakhirnya berhasil membuat kedua keluarga tidak henti-hentinya mengucap syukur.

Setelah proses pertukaran cincin dilaksanakan oleh ibu dari kedua calon mempelai, kini dilanjutkan dengan kegiatan silaturahmi antar keluarga sembari menikmati hidangan yang telah disiapkan oleh pihak wanita.

Niat pertama Aditya telah terlaksana, keduanya sudah terikat.

Selanjutnya, tahap kedua yang betul-betul Aditya dan Syania tunggu-tunggu.

Akad nikah, pada 30 September 2021.

Kebaya biru.

“Gimana menurut kamu?” “Cantik gak?”

Perempuan itu melambai-lambaikan gaunnya, berputar dengan anggunnya di depan Adit yang saat ini sibuk mengagumi setiap inci dari kebaya yang dikenakan Syania.

Kebaya modern berwarna biru tua yang melekat pada tubuh pujaan hatinya sungguh sangat indah sekali di matanya, warna kulitnya begitu cocok dengan warna biru yang sangat tajam itu.

Setelah puas berkecimpung dengan isi otaknya, Aditya mengangguk dan tersenyum. “Cantik,” tangannya ia bawa untuk mengusap pucuk kepala Syania lembut.

“Ih tapi liat nih, bagian pinggangnya terlalu ketat gak sih? aku jadi keliatan gendut,” “Lo gimana sih, kemaren udah ngukur ulang perasaan,” cetusnya pada Ola yang sibuk memandangi kebaya buatannya itu.

“Eh anjir, kita emang udah ngukur ulang tapi pas pulang ngukur dari sini lo makan street food banyak banget kayak babi.”

Aditya tertawa gemas melihat wajah Syania yang terlihat kesal dengan ucapan sahabat karibnya ini.

Memang benar kemarin setelah mengukur ulang kebaya yang Syania mau mereka pergi untuk ke kedai street food yang cukup ramai dan melahap beberapa makanan tanpa pikir panjang, tentu saja Aditya sudah mewanti-wanti dirinya untuk makan sedikit saja tetapi perkataannya dihiraukannya dengan alasan, 'iya tenang aja besok aku mulai diet.'

Meskipun kini kebaya yang ia mau sedikit menekan pinggangnya, tubuhnya masih terlihat ramping, entah apa yang ada pada dirinya. Siapapun pasti heran dengan tubuh yang masih ramping namun nyatanya berat badannya sudah bertambah.

“Udah udah, sekarang kebayanya direvisi ulang deh. Syania ngukur lagi tapi abis ini makannya diliat liat, kasian Ola nih. Ya sayang?” “La, gapapa kan? gua tambah dua kali lipat deh ntar bayarnya, maaf banget nih ngerepotin.”

“Yaudah gapapa, buat Syania doang nih gue begini. Kalau klien lain udah gue depak lo dari sini,”

“Galak,”

“Gak usah ngejawab, beneran gue robek nih kebaya lo,” jawab Ola sembari berlalu dari hadapan Syania.

Dengan terpaksa kali ini mereka mengukur ulang bagian pinggang Syania, kini ia benar-benar bertekad untuk menjaga pola makannya.

Kalau tidak temannya ini akan memakannya hidup-hidup.

“Dit, tapi menurut kamu kebaya aku warnanya biru tua gitu terlalu gloomy gak sih?” tanyanya.

Kini mereka berdua sudah dalam perjalanan pulang, selesai dengan perdebatannya dengan Ola membuatnya ingin cepat-cepat sampai di rumah.

“Kan kulit kamu putih bersih, gak akan keliatan gloomy. Keliatan bersih malah,”

“Iya sih,” “Eh tapi jas kamu nanti warna apa? masa punya aku biru tapi punya kamu bukan biru sih? gak cocok dong,” ucapnya cepat.

Duduknya ia posisikan untuk menghadap Aditya yang kini sedang mengemudi dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya ia pakai untuk menggenggam tangan Syania.

“Biru juga sayang, kan mama kamu yang pilihin. Aku gak tahu milih baju-baju begitu.”

“Oh iya..” “Tapi Dit, aku—”

Syania hendak melanjutkan keluhannya tentang baju-baju itu namun sayangnya kalimatnya terpotong ketika Adit dengan tiba-tiba mencium pipinya, ia mendaratkan benda kenyal itu di pipi mungil milik Syania.

“Tapi tapi mulu daritadi, jangan terlalu dipikirin. Urusan baju udah selesai, gak perlu ditapi tapiin lagi ya?” “Kamu cantik pakai apa aja, Syan.”

Tentang restumu, Ayah.

Pagi itu setelah sarapan Syania sudah berkutat di dapur bersama ibu Adit, kegiatan sarapan pagi sudah terlewat sejak tadi.

Suasana pagi ini memang sangat menyejukkan, kota Malang terkenal dengan udaranya yang begitu dingin. Namun, sejuknya kota Malang saat itu tidak mampu menutupi rasa cemas dari ibu beranak satu ini.

Pesan yang semalam ayah Adit kirimkan masih terbayang-bayang olehnya, semalaman ia tidak nyenyak dalam tidurnya.

“Syan, semalem ayah chat kamu ya?” celetuk ibu Adit membuyarkan lamunannya.

Ia terkejut, bagaimana mana bisa ibu Adit tahu soal ini.

“Eh kok mama tahu?”

Senyum tipisnya terbentuk. “Semalem mama ngobrol sama ayah,” ucapnya. “Tapi soal ayah yang chat kamu itu memang inisiatifnya sendiri.”

Syania mengernyit heran, ia pikir hal seperti ini akan sulit untuk dihadapi. Tapi dengan kehadiran ibu Adit kesulitannya terasa lebih ringan, ia benar-benar membantu membujuk ayah Adit yang sedikit keras kepala itu.

Syania tersenyum lembut lalu mengangguk pelan. “Iya, ayah ajak Syania buat ngobrol habis ini.”

“Yaudah sana, samperin ayah. Di taman belakang, dia nungguin pasti.”

Ia mengangguk lagi, ia menyembunyikan rasa takutnya di depan ibu Aditya. Meskipun rasa cemas terus menghujam nya, ia berusaha untuk tidak menunjukkannya kepada siapapun.


“Ayah..”

Benar apa yang dikatakan ibu Adit, lelaki paruh baya itu kini sedang berdiam diri di taman belakang ditemani dengan secangkir kopi yang pasti adalah buatan sang istri.

Syania menghampirinya dengan perlahan, takut-takut pergerakannya akan salah lagi.

“Ayah.. maaf, udah nunggu lama ya? Syania tadi masih bantu mama beresin dapur,” jelasnya.

Dilihatnya raut wajah dingin itu, tangan yang tak lagi mulus bersedekap gagah di atas dada. Pandangannya lurus tak melirik sedikitpun ke arah sang lawan bicara.

“Duduk.”

Hanya ucapan biasa namun terdengar seperti perintah kemiliteran bagi Syania. Dengan segera ia mendudukkan dirinya di samping ayah Adit.

“Syania,”

“Iya ayah?”

“Saya gak suka kamu sama anak saya,” perkataannya sungguh sangat tiba-tiba dan membuat Syania mematung, udara dingin yang menusuk kulitnya tidak ada apa-apanya daripada perkataan seseorang yang ia harapkan restunya ini.

Ia berusaha menenangkan dirinya, mencoba untuk bersikap biasa saja. Senyumnya masih belum luntur, hatinya pun ia paksa untuk tegar sedikit lagi.

“Iya ayah, Syania paham. Setiap orang tua pasti mau yang terbaik untuk anaknya, Syania juga pengen Aditya dapat perempuan yang lebih daripada Syania,” “Syania gapapa kalau ayah gak mere—”

“Pada awalnya,” Syania terdiam ketika ayah Adit memotong kalimatnya.

“Maaf ayah?”

“Awalnya, pertama kali lihat kamu gendong anak kecil saya sama sekali gak setuju kamu sama Adit,” lanjutnya, kini ia menolehkan kepalanya pada Syania, wajah keriputnya tidak menghilangkan aura tampannya. Pantas saja Aditya memiliki paras yang begitu tampan nan indah, semua diturunkan oleh ayahnya.

“Syania, saya sangat berhati-hati untuk memilihkan Adit seorang istri. Reputasi Adit yang melonjak tinggi akhir-akhir ini membuat saya semakin cemas, banyak perempuan yang bukan menginginkan hati anak saya. Tapi hanya status dan harta duniawi,” “Sejauh ini ada tiga perempuan asing yang datang dan mengaku kalau Adit punya hubungan serius dengan anak saya,”

Syania terkejut bukan main, tiga perempuan asing? sungguh sangat berlebihan dan tidak tahu malu.

“Maka dari itu, waktu kamu datang dan tahu kalau kamu adalah janda anak satu semakin membuat saya berpikiran buruk tentang kamu,” “Selain takut dipermainkan lagi saya juga gak bisa bohong kalau saya ingin Adit dapat perempuan yang masih melajang dan tidak pernah menikah, benar kata kamu tadi. Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya.”

Sang empu hanya terdiam kaku mendengar ucapan ayah dari Aditya ini, ia membenarkan ucapannya. Siapapun pasti inginnya yang masih tersegel, sementara dirinya sudah tidak seperti itu.

“Tapi Syania, perempuan asing yang datang, semuanya masih melajang dan belum menikah. Tapi sikapnya buruk sekali,” “Dan ketika saya melihat kamu lagi, ternyata sangat bertolak belakang. Lebih baik saya memilih buku yang buruk sampulnya tapi isinya indah daripada buku yang sampulnya cantik tapi isinya sudah cacat dan berantakan. Menurut kamu gimana Syan?”

Lagi-lagi ia terdiam, Syania mengerti apa maksud ucapannya. Tapi ia tidak tahu harus bersikap bagaimana.

“Mungkin Syania bakal ngelakuin hal yang sama, karena yang dipandang jelek belum tentu isinya juga jelek sebelum kita cari tahu lebih dalam.”

Seketika senyum tipis ayah Adit terlihat oleh Syania, baginya senyum itu sama seperti milik Aditya. Persis sekali, tidak ada perbedaan yang terlihat.

Siapapun yang melihatnya pasti akan langsung terpana, Adit memang hasil jiplakan ayahnya yang sangat sempurna.

Sedetik kemudian ayah Adit menatap Syania lekat, masih dengan senyuman tipisnya.

“Syania,” “Segera atur acara lamarannya, ayah merestui kalian berdua.”