Akan datang sebagai kebahagiaan.
“Maaf, udah lama ya?” ucap Syania hati-hati, ia berusaha setenang mungkin di depan Adit.
Insiden lima menit yang lalu masih membuatnya kewalahan menghadapi lelaki ini, sikap bos nya itu sangat tidak biasa dan tiba-tiba.
“Enggak,” “Achi gak ikut?” katanya tanpa menolehkan kepalanya, ia mulai mengemudikan mobilnya.
“Enggak, dibawa Mama barusan,” ucap Syania, ia berusaha bersikap biasa saja saat ini.
Suasana antar keduanya terlihat canggung sekali, hiruk-pikuk jalanan menjadi pengisi keheningan di dalam mobil.
Tingkah Adit akhir-akhir ini memang membuat Syania sedikit kaget dan tentunya ia tidak terbiasa, namun mau tidak mau ia harus menyesuaikan diri.
“Kalau kamu gak nyaman, bilang aja gapapa Syan,” celetuk Adit, ia melirik seseorang di sampingnya sebentar lalu tersenyum hangat.
Senyuman yang sepertinya sudah menjadi favorit si perempuan.
“Bukan gak nyaman sih, cuma belum terbiasa aja hehe. Maaf,”
“Saya terlalu nuntut kamu ya?” tanyanya tiba-tiba. Pandangannya masih terfokus pada kemudinya.
Tidak ada kalimat yang aneh pada perkataan Adit barusan, tetapi penggunaan kata 'saya' kembali digunakan dan ia pikir hal ini memang serius dan pasti membuat lelaki itu cukup terganggu.
“Enggak kok, serius deh enggak,” “Cuma belum terbiasa aja,”
“Gapapa Syan, gak usah dipaksa,” “Saya mau menikahi kamu bukan untuk kebahagiaan saya aja, tapi saya juga bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kenyamanan kamu. Jadi, kalau kamu gak suka, bilang gak suka. Biar saya perbaiki.”
Kalimatnya barusan benar-benar membuat Syania merasa bersalah, ia sama sekali tidak terganggu dengan kebiasaan baru ini. Hanya saja, sesuatu yang baru tidak mudah untuk ia kenali saat ini.
Adit memang sosok yang sudah mengenali Syania cukup jauh. Sementara Syania, ia tidak cukup handal untuk mengenali orang baru yang ingin masuk ke dalam hidupnya. Sekalipun ia menyukai lelaki ini.
“Adit..” “Aku memang belum terbiasa, aku memang sulit untuk menyesuaikan diri. Sekalipun aku suka sama kamu..” “Tapi aku tahu, kamu akan jadi Ayahnya Achi sekaligus imam aku. Jadi, tolong tuntun aku ya?”
Adit menolehkan kepalanya, terkejut dengan ucapan Syania. Ia pikir sikapnya selama ini membuatnya tidak nyaman, namun siapa sangka jika Syania menawarkan diri untuk berjalan bersamanya. Untuk mengenali hal baru bersama-sama, untuk masa depan keduanya.
Adit mengangguk, tersenyum hangat, mengusap pucuk kepala sang pujaan hati.
Ia tahu betul bagaimana Syania sejak dulu sampai saat ini, tidak ada yang berubah sedikitpun. Hal itulah yang membuatnya semakin jatuh pada sosok ini.
“Syania, tanggal 29 Agustus..” “Tunggu aku dan keluargaku datang untuk melamar kamu, ya?”