Tentang restumu, Ayah.

Pagi itu setelah sarapan Syania sudah berkutat di dapur bersama ibu Adit, kegiatan sarapan pagi sudah terlewat sejak tadi.

Suasana pagi ini memang sangat menyejukkan, kota Malang terkenal dengan udaranya yang begitu dingin. Namun, sejuknya kota Malang saat itu tidak mampu menutupi rasa cemas dari ibu beranak satu ini.

Pesan yang semalam ayah Adit kirimkan masih terbayang-bayang olehnya, semalaman ia tidak nyenyak dalam tidurnya.

“Syan, semalem ayah chat kamu ya?” celetuk ibu Adit membuyarkan lamunannya.

Ia terkejut, bagaimana mana bisa ibu Adit tahu soal ini.

“Eh kok mama tahu?”

Senyum tipisnya terbentuk. “Semalem mama ngobrol sama ayah,” ucapnya. “Tapi soal ayah yang chat kamu itu memang inisiatifnya sendiri.”

Syania mengernyit heran, ia pikir hal seperti ini akan sulit untuk dihadapi. Tapi dengan kehadiran ibu Adit kesulitannya terasa lebih ringan, ia benar-benar membantu membujuk ayah Adit yang sedikit keras kepala itu.

Syania tersenyum lembut lalu mengangguk pelan. “Iya, ayah ajak Syania buat ngobrol habis ini.”

“Yaudah sana, samperin ayah. Di taman belakang, dia nungguin pasti.”

Ia mengangguk lagi, ia menyembunyikan rasa takutnya di depan ibu Aditya. Meskipun rasa cemas terus menghujam nya, ia berusaha untuk tidak menunjukkannya kepada siapapun.


“Ayah..”

Benar apa yang dikatakan ibu Adit, lelaki paruh baya itu kini sedang berdiam diri di taman belakang ditemani dengan secangkir kopi yang pasti adalah buatan sang istri.

Syania menghampirinya dengan perlahan, takut-takut pergerakannya akan salah lagi.

“Ayah.. maaf, udah nunggu lama ya? Syania tadi masih bantu mama beresin dapur,” jelasnya.

Dilihatnya raut wajah dingin itu, tangan yang tak lagi mulus bersedekap gagah di atas dada. Pandangannya lurus tak melirik sedikitpun ke arah sang lawan bicara.

“Duduk.”

Hanya ucapan biasa namun terdengar seperti perintah kemiliteran bagi Syania. Dengan segera ia mendudukkan dirinya di samping ayah Adit.

“Syania,”

“Iya ayah?”

“Saya gak suka kamu sama anak saya,” perkataannya sungguh sangat tiba-tiba dan membuat Syania mematung, udara dingin yang menusuk kulitnya tidak ada apa-apanya daripada perkataan seseorang yang ia harapkan restunya ini.

Ia berusaha menenangkan dirinya, mencoba untuk bersikap biasa saja. Senyumnya masih belum luntur, hatinya pun ia paksa untuk tegar sedikit lagi.

“Iya ayah, Syania paham. Setiap orang tua pasti mau yang terbaik untuk anaknya, Syania juga pengen Aditya dapat perempuan yang lebih daripada Syania,” “Syania gapapa kalau ayah gak mere—”

“Pada awalnya,” Syania terdiam ketika ayah Adit memotong kalimatnya.

“Maaf ayah?”

“Awalnya, pertama kali lihat kamu gendong anak kecil saya sama sekali gak setuju kamu sama Adit,” lanjutnya, kini ia menolehkan kepalanya pada Syania, wajah keriputnya tidak menghilangkan aura tampannya. Pantas saja Aditya memiliki paras yang begitu tampan nan indah, semua diturunkan oleh ayahnya.

“Syania, saya sangat berhati-hati untuk memilihkan Adit seorang istri. Reputasi Adit yang melonjak tinggi akhir-akhir ini membuat saya semakin cemas, banyak perempuan yang bukan menginginkan hati anak saya. Tapi hanya status dan harta duniawi,” “Sejauh ini ada tiga perempuan asing yang datang dan mengaku kalau Adit punya hubungan serius dengan anak saya,”

Syania terkejut bukan main, tiga perempuan asing? sungguh sangat berlebihan dan tidak tahu malu.

“Maka dari itu, waktu kamu datang dan tahu kalau kamu adalah janda anak satu semakin membuat saya berpikiran buruk tentang kamu,” “Selain takut dipermainkan lagi saya juga gak bisa bohong kalau saya ingin Adit dapat perempuan yang masih melajang dan tidak pernah menikah, benar kata kamu tadi. Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya.”

Sang empu hanya terdiam kaku mendengar ucapan ayah dari Aditya ini, ia membenarkan ucapannya. Siapapun pasti inginnya yang masih tersegel, sementara dirinya sudah tidak seperti itu.

“Tapi Syania, perempuan asing yang datang, semuanya masih melajang dan belum menikah. Tapi sikapnya buruk sekali,” “Dan ketika saya melihat kamu lagi, ternyata sangat bertolak belakang. Lebih baik saya memilih buku yang buruk sampulnya tapi isinya indah daripada buku yang sampulnya cantik tapi isinya sudah cacat dan berantakan. Menurut kamu gimana Syan?”

Lagi-lagi ia terdiam, Syania mengerti apa maksud ucapannya. Tapi ia tidak tahu harus bersikap bagaimana.

“Mungkin Syania bakal ngelakuin hal yang sama, karena yang dipandang jelek belum tentu isinya juga jelek sebelum kita cari tahu lebih dalam.”

Seketika senyum tipis ayah Adit terlihat oleh Syania, baginya senyum itu sama seperti milik Aditya. Persis sekali, tidak ada perbedaan yang terlihat.

Siapapun yang melihatnya pasti akan langsung terpana, Adit memang hasil jiplakan ayahnya yang sangat sempurna.

Sedetik kemudian ayah Adit menatap Syania lekat, masih dengan senyuman tipisnya.

“Syania,” “Segera atur acara lamarannya, ayah merestui kalian berdua.”