Adit, dalam damai.
Syania tiba di rumah sakit yang sebelumnya sudah Arya beritahu, benar saja di sana sudah banyak sekali teman-temannya dan juga teman-teman Adit. Bahkan ibunya dan kedua orang tua Adit juga hadir di sana.
Wajah mereka satu persatu menunjukkan sesuatu yang tak bisa Syania tebak. Kesedihan dan pelupuk mata yang tergenang air mata.
“Ini pada kenapa? Adit mana?” ia baru saja menyadari bahwa lelakinya tidak ada di sana, padahal Arya bilang Aditya juga ada di tempat ini.
Semua orang terdiam, mereka bukan tak ingin menggubris pertanyaan Syania namun tak ada kalimat yang tepat untuk menjelaskan ini semua padanya.
Perlahan Ola meraih tangan Syania. “Syania..” Matanya memberi isyarat pada Syania untuk melihat ruangan apa yang mereka datangi saat ini.
'Ruang jenazah'
“Maksudnya?”
Perasaannya campur aduk, di mana Adit, mengapa semua orang tidak menjawab pertanyaannya dan malah memintanya untuk masuk ke dalam ruangan itu.
“Masuk dulu ya?” ayah Adit menuntunnya untuk masuk ke dalam ruangan jenazah.
Di sana terlihat satu lampu yang menerangi satu jenazah, beberapa perawat berdiri di sebelahnya untuk mengawasi. Syania berdiri di dekat jenazah yang ia tidak ketahui itu.
“Ini.. siapa?”
Lagi-lagi pertanyaannya bagai angin yang lewat, tidak ada yang menjawabnya. Ia melirik satu persatu perawat dan ayah Aditya, ia kebingungan.
Ada satu kemungkinan di otaknya tentang mayat di depannya ini, namun ia berkali-kali menyangkalnya, ia tidak mau menganggap itu semua benar.
Setelah melihat Ayah Adit mengangguk pada salah satu perawat, ia membuka perlahan kain yang menutupi wajah jenazah itu.
Dimulai dari rambut, Syania seperti mengenali rambut itu. Lalu kini kening, kening itu, ia tahu milik siapa kening itu. Hingga kini sang perawat membuka seluruh kain yang menutupi wajah si jenazah.
“ADITT!!!”
Syania berteriak sangat kencang, ruangan jenazah itu seakan penuh dengan suara Syania yang menggema, suara itu, suara yang begitu menyedihkan.
“ADITTT... ADITT!!” Syania meraba wajah Aditya yang kini sudah tak lagi menunjukkan tawa padanya.
Wajah itu begitu pucat, netranya sudah tak lagi menatap Syania penuh cinta seperti biasanya. Bibir itu, tadi pagi Syania sudah berkali-kali menciumnya. Pipi Aditya yang selalu ia cium setiap mereka berdua bertemu, kini sudah lenyap. Segalanya telah Aditya bawa dalam tidur damainya.
“Adit.. sayang, ini aku Syania. Sayang, ayo bangun.. ayo Adit..” “Adit.. aku nungguin kamu. Ayo kita fitting baju ya? ayo, Ola udah nungguin di luar.”
Syania memeluk jasad Aditya erat, diciumnya wajah pucat itu berkali-kali. Ia tenggelamkan kepalanya pada pundak Adit, ia menangis sejadi-jadinya hingga tidak ada siapapun yang bisa menghentikannya.
“Adit.. kamu kenapa..” “Kita mau nikah Dit.. kenapa kamu ninggalin aku..”
Ia terisak, tangisannya seakan tak bisa berhenti. Hatinya begitu sakit, Aditnya telah pergi jauh. Jauh sekali, sehingga dirinya tak bisa melihatnya lagi.
Sudah kedua kalinya Syania menerima hal seperti ini, ruangan ini mungkin sudah sangat mengenal siapa Syania dan sudah berapa kali ia menerima penderitaan yang berawal dari ruangan ini. Ruangan jenazah, tempat yang paling dibenci Syania mulai hari ini.
Dulu, Ardan juga berakhir di ruangan ini, sekarang lagi-lagi ruangan ini juga membawa Aditya ke dalamnya.
Tangisan terus terdengar tanpa henti, hal ini begitu menyakitkan untuknya. Pernikahan keduanya sudah sangat matang, banyak rencana yang sudah mereka rancang ketika berbulan madu nanti. Namun apalah daya, ternyata Tuhan membawa pulang Aditya terlebih dahulu.
“Adit..” “Kalau kamu gak ada, aku sama siapa?”
Tepat setelah kalimat terakhirnya, tubuh Syania melemah dan merosot perlahan ke lantai. Dirinya tak sadarkan diri.