Hanan dan kisah kasih di atas piano.

Malam itu alam semesta sedang mencurahkan seluruh isi hatinya, kota Jakarta seperti sedang ikut kehilangan setengah jiwanya. Aku masih bisa mencium bau hujan di luar sana, setitik air hujan seperti menjadi melodi yang paling indah untuk menghiasi keheningan yang membelenggu.

Setahun sudah, waktu banyak sekali mencuri segalanya dariku. Semuanya berjalan seperti ini, seperti seharusnya.

Piano yang terletak di sudut ruangan ini pun masih sama, masih sama indahnya. Hanya saja, sang pianis tidak lagi disini.

Laki-laki itu—Hananta, yang biasa aku olok-olok hanya karena namanya yang hampir mirip dengan nama perempuan, “Hananta, namamu jelek. Kayak cewek.”

Hanan tidak pernah sekalipun tersinggung. Kekasih ku, Hanan, selalu punya banyak sekali cara untuk menyenangkan hati ku.

Hanan suka sekali dengan piano, ia suka sekali dengan dunia musik. Namun sayangnya, dunia tidak selalu berpihak padanya. Ibu dan ayah Hanan menentang keras akan hal itu.

Hanan, aku suka deh kalau kamu main piano.”

Kalau kamu suka, aku akan terus main piano buat kamu.” Selanjutnya, detik itu juga, aku mendeklarasikan bahwa piano di sudut ruangan ini adalah hak paten milik Hanan. Hanya Hanan yang boleh memainkannya, tentunya untukku.

Aku memandangi piano yang mulai berdebu, sudah setahun piano itu kehilangan pianis khususnya. Sedikit berubah, piano itu terlihat muram di ujung sana. Aku tidak bisa lagi menemukan kebahagiaan pada piano itu, yang terlihat hanya warna-warna kesedihan.

Aku mencoba menekan tuts piano ini, “Hanan, ini mainnya gimana sih? begini? terus harus tekan yang mana lagi?

Aku mulai menduduki kursi yang dulunya adalah tempat kebesaran Hanan,

Kok bisa nyambung melodinya? kamu tekan yang mana aja?

Bayangan Hanan yang menuntun jemari ku di atas tuts piano ini kembali terputar, tangan Hanan yang lembut membuatku enggan untuk melepaskannya.

Hanan, piano ini akan jadi saksi tentang bagaimana kita berdua saling mencintai, ya?

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Emangnya kamu mau kemana? kamu aja yang mainin pianonya, aku gak bisa main piano.”

Setelah kalimat terakhir yang aku lontarkan, Hanan hanya tersenyum. Senyumnya selalu menjadi pemandangan favoritku ketika kami bertemu, kehadiran Hanan adalah anugerah pemberian semesta yang paling aku syukuri.

Seketika, ruangan ini seperti ramai sekali dengan gelak tawa Hanan. Bayangan Hanan yang tengah berakting menjadi penyanyi di gedung besar seperti muncul begitu saja di depan ku, Hanan yang sedang kebingungan mencari charger nya, Hanan yang tengah mengomel karena aku tidak sengaja menghilangkan hoodie nya, dan Hanan yang tengah memelukku dengan erat saat ini.

Ya Tuhan, pelukannya sangat nyata. Hangat sekali, wangi lelaki itu seperti memaksa masuk ke dalam indra penciuman ku. Pelukan ini, aku yakin ini adalah Hanan, Hanan-ku. Hanan, aku sedih.

Hanan, aku lagi sedih. Kamu tau gak, tadinya aku harus presentasi. Aku udah siapin ini dari lama, tau-tau dosennya gak hadir!

Hanan hanya menatap ku dengan lekat, lalu garis bibirnya terbentuk,

Aku punya mantra rahasia, biar sedihnya hilang

Tawarannya membuat aku tergiur,

Kalau gitu, tolong segera sihir aku yang mulia Hanan.

Dalam hitungan detik Hanan memelukku, sangat erat, sesekali mencium pucuk kepala ku. Pelukan Hanan tidak mampu aku tolak, ciumannya adalah obat penenang yang semesta ciptakan khusus untukku.

Hanan adalah sosok yang pandai menyimpan dukanya, ia hanya menunjukkan senyuman polosnya yang ampuh sekali menipu semua orang. Terkadang aku marah sekali pada sang bentala, mengapa Hanan selalu saja diberi penderitaan yang bertubi-tubi.

Hanan, kalau sakit jangan disimpan sendiri. Aku juga pengen ngerasain.”

Gak apa apa, aku baik.”

Hanan, kamu tau kan kalau aku sayang kamu?

Hanan menganggukan kepalanya, wajahnya dihiasi banyak sekali memar dan luka,

Terus, kenapa kamu gak mau berbagi sama aku?

Lagi-lagi Hanan hanya tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut.

Hanan adalah sosok yang misterius, aku tidak diperbolehkan mengetahui tentang dirinya yang sedang kesusahan melawan semesta. Hanan yang ingin hidup orang lain senang, namun membiarkan hidupnya sendiri tercerai-berai.

Senyumnya tidak pernah luntur, entah harus bagaimana aku harus melunturkan senyuman itu karena di baliknya pasti ada sesuatu yang sedang hancur.

Tidak butuh banyak 'karena' untuk mencintai sosok Hanan, Karena lelaki ini adalah sumber dari cinta itu sendiri. Hanan yang ini, milikku.

Ibu pernah bilang, kalau Hanan adalah hadiah dari semesta untukku. Dan aku membenarkan hal itu.

Anala, aku sayang kamu. Ini hadiah dari aku, diterima ya? maaf gak aku kasih langsung. Jangan nangis, jelek!

Catatan terakhir dari Hanan, dengan kotak hitam di sampingnya. Warna hitam, warna yang dibenci Hanan.

Hadiah itu, hadiah yang dimaksud Hanan untukku saat itu adalah awal dari dimulainya kehidupan ku yang penuh dengan jeritan duka.

Saat itu, aku benar-benar mengutuk semesta yang berani sekali merenggut segalanya dari genggaman ku. Semuanya seakan tergoncang, segalanya kacau-balau.

Aku kembali menekan tuts piano, mencoba menyalurkan seluruh perasaan yang masih sama seperti terakhir kali Hanan ada disini, Hanan selalu memainkan piano dengan penuh sukacita.

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya.”

Nanti kalau aku gak ada, kamu yang mainin pianonya... “

Nanti kalau aku gak ada.. kamu.. yang mainin.. pianonya.. “

Anala, main piano untuk aku ya..”

Bayang-bayang itu, ucapan-ucapan Hanan membuatku hilang kendali. Aku berteriak sekencang mungkin. Sakit, sakit sekali, tubuh ini rasanya seperti kehilangan setengah nyawanya. Aku berteriak sekencang mungkin agar rasa sakit ini segera menghilang.

Anala, aku sayang kamu..”

Anala, i love you..”

Anala, terimakasih..”

Anala.. ...aku pergi dulu ya.”

Tidak, ini semakin menjadi-jadi. Hanan, seharusnya tidak seperti ini. Sakit sekali, sesak sekali rasanya. Harus sekencang apalagi aku berteriak, suara-suara itu dan rasa sakit ini terus menghujami ku tanpa ampun. Entah sudah berapa banyak benda yang aku lempar kesana-kemari.

Anala! nak, ini Ibu nak!

Ibu menepuk pipi kanan dan kiri ku berulang kali, tapi sesak di dadaku tak kunjung hilang. Aku tidak bisa mengendalikannya, ini terlalu menyiksa.

Dengan cepat Ibu menyuapiku dengan obat-obatan yang biasa aku konsumsi setiap harinya, obat-obatan yang aku konsumsi setelah kepergian Hanan hari itu.

“Anala, jangan suka melamun. Sudah setahun An, Ikhlaskan Hanan. Dia pasti gak suka lihat kamu seperti ini..” Ibu memelukku sangat erat setelah kesakitan ini mereda.

Ucapan Ibu berhasil membuatku makin terisak, isakan yang terdengar menyedihkan.

Sang bentala pasti sedang menertawakan ku saat ini, Anala yang dulu dibahagiakan oleh pujaan hatinya sekarang tengah meringkuk lemah tak berdaya. Hanan, maaf aku tidak bisa menepati janji untuk selalu berbahagia.

Hanan, rasa sakit ini terus-menerus menghantui ku. Hanan, kenapa kamu kejam sekali, kenapa kamu pergi tanpa se-izin ku. Hanan, aku masih belum mampu, aku tidak cukup mampu untuk menghilangkan bayang-bayang kehadiranmu di sini. Kamu memberi ku kebahagiaan sekaligus kesedihan yang tidak akan pernah bisa aku hadapi.

Hanan, sesak sekali. Aku sangat merindukanmu sampai rasanya ingin mati.