Sosok buram.
Pagi itu entah mengapa hujan begitu derasnya mengguyur kota, banyak pekerja yang kewalahan menghadapi musim hujan ini. Lalu lintas menjadi sangat padat, jam menunjukkan pukul delapan pagi. Tentu saja orang-orang berdasi itu terburu-buru, merepotkan sekali.
Tapi tidak dengan wanita beranak satu yang kini dengan wajah muramnya menghadapi musim penghujan, dirinya sangat membenci hujan. Penderitaannya dimulai dari setitik air hujan di kala itu.
Setahun yang lalu, Syania memutuskan untuk berhenti bekerja di kantor milik Adit. Terlalu banyak hal yang membuat dirinya sesak jika terus diam di tempat itu, maka dari itu ia memutuskan untuk membangun sebuah cafe. Beruntungnya, sahabat karib Aditya bersedia untuk membantunya.
“Syan,” “Bengong aja terus, baru kapok kalau udah kesamber petir.”
“Apaan sih?” sinis Syania, tontonannya saat ini memang tidak terlalu penting. Namun hanya dengan ini dirinya bisa mengenang kembali bagaimana dirinya sangat beruntung.
Jevan mendengus sebal. “Itu anak bandnya udah dateng.”
Syania melirik sekilas, terlihat seseorang dengan tas gitar di punggungnya sedang memandangi seisi cafe. Ia menghampiri lelaki itu berniat untuk menyambut kedatangannya.
“Dengan Mas Jagu, ya?” sapanya pada lelaki jangkung itu.
“Betul, Mbak Syania, kan?”
Syania mengangguk, beberapa berkas ia letakkan di hadapannya.
“Baik, Mas Jagu, karena Mas Jagu sudah konfirmasi sebelumnya dengan Pak Jevan. Sekarang sudah bisa teken kontrak, ya.”
Jagu mengangguk setuju, dirinya dan tim memang sudah lama mengajukan diri untuk bekerja di sana. Kabar tentang ramainya cafe Syania membuatnya tergiur untuk tampil bersama teman-temannya di tempat itu.
“Kalau boleh tahu, saya dan tim bisa mulai kerja kapan, mbak?” ucapnya ramah. Tangannya terulur untuk memberikan kontrak yang sudah ia tanda tangani sebelumnya.
“Mulai besok bisa, nanti jam nya saya kabarin lagi.”
Syania melihat wajah rekan kerjanya itu begitu sumringah, sepertinya pekerjaan ini begitu menguntungkan bagi dirinya serta teman se–timnya.
“Terimakasih Mbak Syania, semoga suka dengan penampilan saya dan tim nanti,” “Kalau gitu saya permisi dulu.”
“Sama sama, sampai ketemu besok ya, Jagu.”
Ia beranjak dari duduknya, melirik sekilas benda pipih di tangannya. Tubuh jangkung itu perlahan menghilang dari pandangan Syania, sebuah mobil hitam seperti tengah menunggu kehadiran Jagu. Awalnya tidak ada yang aneh dengan mobil itu, namun kesadarannya seperti ditarik penuh ketika sang pengemudi perlahan membuka kaca jendela mobil.
Syania memang melihat Jagu masuk ke dalam mobil itu, namun kali ini fokusnya tidak lagi pada sosok Jagu.
“Gak mungkin..”
Belum lama dirinya memastikan sang pengemudi, mobil itu telah melaju dengan cepatnya dari hadapan Syania.
“Syan, kenapa?”
Dirinya dikagetkan oleh Jevan yang entah darimana datangnya, kesadarannya kembali. Namun ingatannya masih mengambang, tidak mungkin yang ia lihat tadi adalah sosoknya, sosok yang ia rindukan selama tiga tahun ini.
Syania menggeleng pelan. “Gapapa,” ia berusaha menyangkal semua kemungkinan yang ada. Penglihatannya mungkin sedang tidak baik-baik saja karena tengah merindukan lelakinya.
'Gak mungkin, Aditya udah gak ada. Sadar Syan.'