Sama namun berbeda.
Sore itu, langit jingga menghiasi jumantara. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, Syania masih betah untuk duduk di sebelah nisan bertuliskan 'Aditya Putra Mahanta'
Doa-doa telah ia panjatkan serta menaburkan bunga di atas gundukan tanah milik Adit. Tidak lupa bercerita tentang kesehariannya, seakan-akan pria itu sedang berada menatapnya dengan tatapan hangatnya.
“Udah dulu ya, Dit. Nanti aku ke sini lagi,” ucapnya lembut, sebelum beranjak ia mencium nisan putih itu. Menunjukkan rasa rindunya yang tak kuasa ia tahan.
Hari ini memang jadwalnya lumayan padat, dari pagi ia harus mengurus segala hal. Seperti memasak sarapan untuk Achi, menghitung pengeluaran dan pemasukan cafe miliknya, serta tak lupa mengunjungi makam Aditya. Benar saja, sesibuk apapun urusannya, mengunjungi Aditya adalah hal yang tidak boleh ia lewatkan.
Tepat pukul enam malam Syania sampai di cafe, setelah membantu Achi dengan tugas rumahnya ia mengantar si kecil ke rumah ibunya.
Suasana cafe cukup ramai, banyak mahasiswa yang tengah sibuk dengan tugas kampusnya, serta anak muda lainnya yang sedang bercengkrama. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Syania melangkahkan kakinya menuju pintu cafe, membukanya dan menelisik seluruh seisi cafe. Matanya menemukan Jevan berada, sepertinya pria itu sedang melayani beberapa pelanggan.
Dilihatnya panggung kecil yang terletak di depan para kursi pelanggan, kosong, di mana band Jagu? hanya ada beberapa alat musiknya saja yang tergeletak di sana.
“Jevan,” “Jagu sama bandnya kemana? kok cuma ada alat musiknya doang?” tanyanya pada Jevan.
“Gak tau, kata Fani lagi break bentar. Gua gak sempet liatin dari awal, nyokap gua tiba-tiba ngajakin telfonan,” “Tenang aja sih, mereka beneran kerja kok, gak nipu,” sindirnya pada Syania.
Syania mencebik, sadar akan dirinya yang sedang disindir oleh temannya ini. “Ya yaudah.”
Syania berlalu dari tempatnya, hendak pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya. Terlalu jengah jika terus-terusan berada di tempat yang sama dengan Jevan, ia pasti akan disindir habis-habisan oleh pria itu.
Kakinya melangkah menuju toilet wanita yang terletak di lorong ujung cafe, letak toilet wanita dan pria hanya berjarak 20 langkah saja di lorong itu. Jadi siapapun bisa melihat siapa saja yang keluar dari salah satu toilet.
Syania sudah akan meraih pintu toilet, pikirannya saat ini hanya ingin menyegarkan kembali wajahnya dengan air dingin yang nikmat setelah lelah seharian pergi ke sana dan kemari.
Bekerja seorang diri memang membuatnya kewalahan.
Namun gerakan tangannya terhenti ketika ia melirik pintu toilet pria yang terbuka dan memperlihatkan sosok yang membuatnya tercengang saat Jagu menemuinya kemarin pagi, sosok itu, sosok yang ia lihat kemarin.
Sosok yang parasnya seperti hasil cetakan murni milik kekasihnya. Rambutnya coklat gelap, sedangkan milik Aditya hitam legam. Pria itu memakai kaos putih yang dibalut dengan jaket kulit hitam dan tas selempang yang bertengger di punggungnya, serta tak lupa masker yang menutupi setengah wajahnya. Namun demi Tuhan, Syania hafal betul dengan bentuk tubuh dan paras yang tertutup masker putih itu.
Pria itu, benar-benar mengambil alih paras milik Aditya sepenuhnya. Kali ini Syania tidak mengigau, terbukti dengan langkah kaki pria itu yang menjauh dari jangkauannya.
Dalam diam, ia bersyukur pada Tuhan karena memberinya kesempatan untuk melihat wajah itu sekali lagi. Sosok itu, nyata.
Tuhan mengirimkan kembali sosok Aditya namun dengan jiwa dan versi yang berbeda.
“Adit..” “Kamu dateng, ya?”