Pondasi Keluarga Kecil.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, siapapun pasti mencari ketenangan di malam hari setelah seharian beraktivitas. Namun tidak dengan Ibu beranak satu ini, Achi sudah terlelap cukup lama di pelukannya. Sementara Syania masih bergelut dengan pikirannya sendiri sejak empat jam yang lalu.

Dirinya memang sempat bertukar obrolan dengan laki-laki yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya, ia selalu menggoda dirinya tanpa memikirkan bagaimana hubungan yang jelas antar keduanya. Dan berakhirlah dengan Syania yang menyesalinya.

'Harusnya gak gini, ini salah.' batinnya.

Drrt... Drrt

Getaran benda pipih miliknya mengganggu lamunannya, beruntung suara itu tidak menggangu anak gadisnya.

Pop up telepon menunjukkan nama sang sumber kekhawatirannya akhir-akhir ini.

Merapi menghubunginya, sebenarnya tidak ada yang salah dengan ia yang menghubunginya larut malam seperti ini, namun hari ini Syania merasa tak siap.

Setelah seharian Merapi menggodanya habis-habisan, jantungnya tidak cukup kuat untuk menghadapi lelaki tengil ini.

“Halo.”

“Halo, belum tidur?”

“Kalau udah aku gak akan angkat telfon kamu.”

Terdengar suara cekikikan di seberang. “Marah-marah terus kamu.”

“Biarin,” “Daripada sering ngegodain anak orang tapi gak dikasih kepastian, mending marah-marah.” Sindirnya, sengaja ia ungkapkan sedikit keganjalan hatinya malam itu.

Hening, Merapi tak menjawab ucapannya.

“Hahaha, sini dong keluar. Kedinginan nih aku.”

Syania mendengus, “boong mulu.”

“Gak bohong sayang, sini coba keluar. Liat nih aku bawa apa.”

“Ngapain sih?”

“Mau nginep.”

“Kemaren kan udah.”

“Kangen lagi. Sini ih cepetan.”

Syania menghela nafasnya, ia buru-buru memutuskan sambungan teleponnya. Beranjak untuk meletakkan Achi di kamar agar anak itu tak terbangun.

Dengan gerakan cepat ia berjalan ke arah pintu utama rumahnya, dilihatnya kursi taman yang berada di tengah-tengah taman rumahnya telah diduduki oleh lelaki bertubuh tegap dengan jaket hitam membalut tubuhnya serta tak lupa topi hitam bertuliskan Casablanca yang selalu ia pakai. Pria itu membelakanginya, Syania tak bisa melihat wajahnya.

“Merapi!”

Yang dipanggil menolehkan kepalanya, seketika senyum tipis menghiasi wajahnya. Meskipun temaram lampu taman tak sepenuhnya memperlihatkan parasnya, namun Syania masih bisa melihat wajah tampannya yang dihiasi senyuman tulusnya.

“Kenapa tiba-tiba mau nginep?” Kini pria itu berdiri di hadapannya, Syania membuka topi yang dikenakannya agar bisa melihat wajah itu dengan jelas.

“Kangeeen.” Dengan sekali gerakan Merapi memeluk dan mengangkat Syania di dalam pelukannya.

“Aduh! Merapi! udah ih, Achi udah tidur!” “Lagian tadi kan abis jalan, kenapa kangen terus, sih?”

“Ya emang gak boleh?”

“Boleh, semuanya boleh buat kamu.”

Lagi-lagi lelaki berkulit tan itu terkekeh melihat tingkah gemas Syania.

“Mandi dulu, abis itu baru tidur.” “Udah makan belum tadi?”

Merapi menggeleng, ia sibuk menciumi wajah lelap Achi. Menurutnya Achi adalah makhluk menggemaskan setelah Syania, hal itu sudah ia akui sejak pertama kali dirinya bertemu Achi.

“Mandi dulu kalau gitu, abis itu makan.”

“Oke, Bunda.” Ia beranjak lalu tak lupa mencium kening Syania dengan iseng sebelum berlari kecil ke kamar mandi.

“Merapi!”

“Iyaa Bunda sayang.” Teriaknya sambil tertawa terbahak-bahak.


“Kamu bawa apa?”

Kini, keduanya telah berakhir di kasur empuk milih Syania. Setelah menghadapi omelan Merapi tentang dirinya yang tak mau makan jika tidak disuapi oleh Syania.

Merapi membawa satu paper bag putih ke atas pangkuannya. Sementara tangan kanannya masih setia mendekap Syania sembari menciumi kening wanita itu.

“Kamu yang buka deh.”

Merapi memberikan benda yang dibawanya tadi pada Syania.

Syania mengernyit heran, dibukanya paper bag putih itu. Di dalamnya hanya ada satu benda berwarna biru tua yang ia yakini adalah sebuah ring box.

“Apa nih? ring box?” Syania menunjukkan kotak itu pada Merapi.

Pria itu terkekeh lalu mencium kening hingga bibir Syania. Tak ingin Syania bertanya-tanya lagi, Merapi membawa wanita itu ke pangkuannya.

“Buat kamu. Ring box dan isinya buat kamu,” “Ini semua, buat calon istri aku.”

Tercetak jelas wajah terkejut Syania, ia memandangi kotak cincin ditangannya dan Merapi bergantian. Terlalu tiba-tiba, namun juga tidak bisa berbohong bahwa inilah yang diinginkan Syania.

“M-maksudnya gimana, sih? bercanda ya kamu?”

Merapi tertawa pelan, betapa menggemaskannya wajah wanitanya saat ini. Kebingungan dan senang dalam satu waktu, pemandangan yang membahagiakan bagi Merapi.

Dengan gerakan pelan, ia meraih kotak cincin dari tangan Syania. Membukanya dan memasangkan cincin itu pada jari manis milik Syania. Terakhir, ia berikan ciuman hangat pada punggung tangan wanita beranak satu itu.

“Merapi?”

Merapi menatap Syania dengan tatapan teduhnya, seakan berharap wanitanya ini tahu bahwa dirinya benar-benar memujanya.

“Maaf ya kalau aku ngelamar nya gak romantis,” “Tapi niat aku betul-betul serius, Syan. Semuanya udah aku atur, aku atur sedemikian rupa cuma biar kita bisa sama-sama. Kamu gak perlu mikirin apa-apa lagi, ya?” “Maaf aku lama, maaf udah bikin kamu nunggu selama hampir dua tahun. Maaf ya, sayang?” “Jadi, Syania Meera Ibu dari Achi dan calon anak-anak aku nanti. Kamu bersedia, kan, menikah sama aku?”

Tidak ada yang bisa Syania ucapkan saat ini, air mata telah lolos dari pelupuk matanya. Penantiannya selama hampir dua tahun sudah dibayar lunas oleh semesta. Keresahannya ternyata didengar oleh alam semesta.

Syania tak menjawab apapun, ia tak mampu mengungkapkan kebahagiaannya. Dengan pelan ia menangkup wajah Merapi yang berada di hadapannya, memajukan wajahnya dan mencium bibir Merapi dengan lembut.

Ciumannya kini adalah sebagai jawaban atas keputusan yang telah Merapi berikan padanya, ia ingin Merapi mengerti bahwa tidak ada yang lebih besar selain perasaannya yang membuncah untuknya.

“Iya, Merapi. Ayo buat pondasi keluarga kecil kita mulai sekarang.”