Partner jelek.
Pagi itu suasana cafe tidak cukup ramai, hanya ada beberapa mahasiswa dan lelaki paruh baya yang sedang sibuk dengan benda nikotinnya di ruangan khusus merokok.
Jevan bilang hari ini ia tidak bisa datang terlalu awal, itu sebabnya sekarang Syania datang lebih awal untuk mengawasi cafe sejak jam delapan pagi tadi. Untung saja anak gadisnya pergi ke sekolah bersama ibunya, setidaknya dirinya tidak terlalu terburu-buru untuk pergi bekerja.
Ruangan khusus milik Syania kini diketuk pelan, interupsi dari wanita itu memperlihatkan salah satu pelayan cafe yang menyembulkan kepalanya untuk melihat ruangan boss nya.
“Syania, ada yang nyariin kamu tuh di depan.”
Syania mengernyitkan alisnya. “Siapa?”
“Itu, vokalis band yang kemarin. Kamu ada buat janji ya sama dia?”
Benar saja, ia hampir melupakan janjinya dengan pria itu. Syania menepuk dahinya pelan, pasti Merapi sudah menunggunya sangat lama.
“Ya ampun, iya deh sebentar. Aku keluar.”
Syania melangkahkan kakinya segera, merasa bersalah. Harusnya ia menemui Merapi di taman yang terletak di dekat cafe hari ini.
Jalannya sangat tergesa-gesa, mengunci pintu ruangannya, hingga merapikan sepatu yang tadinya ia lepas. Terlalu sibuk dengan aktivitasnya, wanita itu sama sekali tidak ingat dengan siapa ia akan bertemu, tidak ingat dengan bagaimana sosok yang ia ajak bertemu nanti.
Mulutnya terus bergumam tidak jelas, hingga tidak sadar seseorang memperhatikannya dari depan pintu cafe.
Syania tidak kunjung mendongakkan kepalanya, sibuk dengan urusannya sendiri.
“Mbak Syania?”
Suara pria itu menghentikan aktivitasnya, berhenti sejenak berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar.
Perlahan ia mengangkat kepalanya, menemukan sumber suara yang membuatnya berdiri kaku. Tatapan mereka bertemu, Merapi menatapnya tepat di mata Syania. Netra yang selama ini ia rindu-rindukan, kini kembali bertemu dengan netra miliknya.
Meskipun pria ini bukan kekasihnya, tetapi Merapi seperti memiliki setengah dari jiwa yang dimiliki Adit. Paras yang begitu sempurna, mengingatkan Syania kembali kepada lelakinya. Tubuhnya terasa lemas, kenangan bertahun-tahun yang lalu seperti kembali tertarik ke dalam dirinya. Perasaan kehilangan akan Aditya lagi-lagi menghinggapi hatinya.
Syania berusaha meraih apapun disekitar untuk membantunya menopang tubuhnya, kakinya seperti tak kuasa menahan beban tubuhnya sendiri.
“Mbak? mbak Syania? kenapa?”
Dengan cepat Merapi menghampiri wanita itu, melihat bagaimana boss nya ini linglung ia dengan langsung menahannya agar tidak jatuh.
“Mbak kalau sakit gak usah dipaksain gapapa, ngobrolnya bisa kapan-kapan aja.”
Syania menggeleng pelan, benar apa yang telah dipesankan oleh Jevan. Ia harus bisa menahan diri, kelemahannya sekarang ada di depannya. Sangat sulit mengkontrol dirinya sendiri.
“Gapapa, Merapi. Pusing sedikit aja.”
“Yaudah, biar saya bantu, ya? di taman depan, kan?”
Syania mengangguk. “Iya, makasih, ya”
Dengan cekatan lelaki itu membantu dirinya berjalan, beruntungnya letak taman yang dimaksud tidak terlalu jauh, hanya perlu menyebrangi jalan raya dan sampai.
“Udah baikan belum?”
“Udah. Makasih ya? Maaf juga udah buat kamu nunggu lama.”
“Gapapa mbak hehe. Nunggu doang mah saya jago,” ia mengacungkan jempolnya. Deretan giginya berpadu dengan tawanya yang begitu renyah di telinga Syania.
Merapi ternyata sangat bertolak belakang dengan Adit. Keduanya memang saudara kembar, namun sifatnya bagaikan langit dan bumi. Adit memiliki aura yang menyeramkan sewaktu kali pertama keduanya bertemu, sedikit pemarah, gengsinya sangat tinggi, sisi hangatnya hanya diberikan kepada orang-orang tertentu. Orang-orang jaman sekarang menyebutnya 'tsundere.'
Berbeda dengan Merapi, pria itu benar-benar menunjukkan kehangatannya kepada siapapun. Ceria, suka sekali tertawa dengan hal-hal kecil, dan juga pria ini tak segan-segan untuk melontarkan banyak gurauan lucu sehingga dapat membuat siapapun betah duduk bersamanya.
Seperti sekarang, sudah 20 menit mereka berbincang namun Syania tetap masih betah untuk tinggal.
“Jadi kamu ikut band untuk nambah-nambah penghasilan, ya?”
“Ya itu juga salah satunya, sih, mbak—”
“Jangan panggil mbak dong, panggil Syania aja,” potongnya.
“Yah, gak sopan dong saya.”
“Kenapa gak sopan? Kita udah temenan, kan, sekarang. Jadi ngapain ngomong formal?”
“Hahaha” “Pengen banget temenan sama saya?”
Sudah Syania tebak, pria ini sungguh ajaib. “Ya pengen dong? kamu gak mau jadi temen saya?”
“Gak mau, ah.”
Syania menatap Merapi dengan heran.
“Hehehe, bercanda. Serem banget mukanya.”
Lagi-lagi ia dibuat kaget dengan Adik dari kekasihnya ini, sedikit menyebalkan namun Syania menikmatinya.
“Kapan-kapan ajak aku ke panti asuhan kamu yang dulu dong,” ucap Syania. Merapi memang sudah menceritakan banyak hal, dimulai dari dirinya yang hidup di panti asuhan sejak kecil dan bagaimana ia begitu menyayangi ibu panti di sana.
“Emang kamu mau?”
“Ya kenapa harus gak mau?”
Pertanyaan lawan bicaranya ini memang selalu membuatnya bertanya-tanya, untuk sebagian orang, pertanyaan Merapi sedari tadi mungkin akan membuat mereka naik darah. Namun tidak bagi Syania, pertanyaan-pertanyaan tidak pentingnya itu justru menjadi daya tariknya sendiri.
“Kamu kan orang sibuk, mana mau ikut ke panti. Gak sempat pasti.”
“Dih,” “Aku bukan presiden.”
“Emang bukan lah, kamu Syania.”
“IHH???”
Merapi menertawai wajah menggerutu di depannya, sangat menyenangkan menjahili boss nya ini.
“Yaudah, lusa aku ke panti. Ikut gak ibu boss?”
“IKUUUT!!” “Mau kenalan sama ibu panti juga dong nanti.”
“Ngapain?”
“Mau tanya, Merapi dulu bandel atau engga,” Syania menaik-turunkan alisnya. Berbalik menjahili pria di depannya ini.
“Aku anak soleh, mana mungkin bandel. Meskipun suka ketiduran di deket selokan aku tetep anak soleh.”
“IHHH BUKA AIB SENDIRI, GILA YA KAMU??”
“Gapapa, yang penting tetep ganteng,” lagi, kepercayaan dirinya datang lagi.
“Jelek.” “Udah nyatu sama selokan mana ada ganteng.”
Sebenarnya Syania ingin mengakui ketampanan lelaki itu, benar, benar yang ia katakan. Mau bagaimanapun, Merapi selalu tampan.
“Gapapa deh, yang penting aku punya partner jelek. Jadi gak sendirian.”
Syania mengerutkan keningnya, belum mengerti dengan apa yang dimaksud pria ini. “Siapa?”
Merapi melirik ke arah Syania sekilas lalu kembali menatap jalanan, senyum jahilnya terlihat lagi.
“Syania.”
“MERAPI SIALAN!”