Aditya.

Syania POV

Pagi ini jalanan tidak begitu ramai, jalanan kota juga tidak terlalu padat seperti hari-hari sebelumnya. Tidak mendung namun juga tidak terik, cuaca yang disenangi pria kesukaanku—Aditya namanya.

Hari ini aku ingin berkunjung ke peristirahatan terakhirnya, bersama Merapi—yang akan aku tebak pasti di lelaki di sampingku ini adalah adik kesayangan Aditya.

Gundukan tanah dengan nisan yang sudah sedikit kusam kini sudah ada di depanku, masih sama, masih tetap terlihat rapih dan bersih, seakan-akan ia selalu menungguku datang untuk berkunjung.

“Assalamualaikum, Adit. Hai, aku datang lagi,” “Lihat deh aku bareng siapa hari ini, adik kamu hahaha.”

Aku bersimpuh di dekat gundukan itu, meletakkan sebuket bunga di depan nisan yang kini hampir menutupi setengahnya. Mengusap nisan kusam itu lagi-lagi dengan tatapan menyedihkan, seakan-akan nama yang tertulis pada nisan di depanku kini mampu menyalurkan banyak sekali kenangan kami berdua.

Kesadaranku kembali ketika Merapi mengusap pundak ku.

“Gak usah dipaksa kalau gak bisa Syan, kita berdoa aja ya? aku bantu.”

Aku menggeleng pelan. Bukan seperti ini, kali ini tujuanku pergi bertemu Aditya bukan untuk menunjukkan kesedihan ku lagi seperti kemarin-kemarin. Nisan di hadapanku dan juga tempat ku bersimpuh hari ini akan menjadi saksi bagaimana aku merayakan kesedihan ku dan kebahagiaan ku secara bersamaan. Bersorak-sorai untuk kedua kalinya sembari berharap semoga tidak akan pernah lagi kembali menangis dan bersimpuh pada nisan yang baru, nisan milik seseorang yang juga kelak akan aku cintai.

“Gak apa-apa,” aku tersenyum, meyakinkan Merapi yang kini raut wajahnya tampak khawatir.

“Aku harus, Mer. Aku mau bilang ke Aditya—abang kamu yang ganteng ini kalau aku sebentar lagi mau menikahi adiknya,” tatapanku kini beralih pada nisan putih di depanku.

“Lucu ya, ini kedua kalinya aku datang ke sini. Tujuannya juga sama, di tempat yang sama juga.” “Kemarin Ardanu, sekarang kamu. Iya kan, Dit?”

Aku menghela nafas sebentar, menahan sesak yang entah sejak kapan memenuhi dadaku.

Aku sudah ikhlas, benar-benar ikhlas, sungguh. Tapi mau bagaimanapun, tidak ada rasa sakit yang benar-benar hilang.

“Adit, aku mau menikah. Aku mau melanjutkan hidup aku sekarang,” “Maaf ya, maaf kemarin-kemarin aku selalu menentang takdir kalau kamu sebenarnya memang udah gak bisa sama aku.”

Aku menoleh sebentar pada Merapi, tersenyum tipis menandakan kalau semua baik-baik saja. Tatapan Merapi turun ke arah gundukan tanah milik Aditya, menatap peristirahatan saudaranya dengan sendu.

“Abang..” “Ijinin ya?” “Merapi mau menikahi Syania, tapi juga gak bakalan menggeser posisi abang di hati Syania. Merapi akan buat tempat Merapi sendiri di hati dia nanti.”